DALAM
NOVEL SUTI
Oleh:
FAWZIAH
Abstrak
Studi ini mengkaji Novel Suti karya Sapardi Djoko Damono
terkait perubahan sosial pada masyarakat jawa, dengan pendekatan teori
Struktural Genetik. Metode pengumpulan data menggunakan analisis teks dan
analisis struktur karya sastra dari
aspek instrinsik yaitu penokohan, setting, alur dan sudut pandang. Sedangkan
analisis teks dari pendekatan struktkural genetik, melihat perubahan sosial
dari aspek pandangan dunia, fakta kemanusiaan, kelas sosial dan subyektif
kolektif. Tujuannya untuk mengetahui bagaimana proses perubahan sosial yang
terjadi pada masyarakat Jawa dalam sebuah karya sastra. Hasil penelitian
menjelaskan bahwa proses perubahan sosial pada masyarakat Jawa yang terdapat
pada novel Suti ini terjadi secara evolutif dan damai. Tidak ada gejolak maupun
konflik sosial yang terjadi di masyarakat selama proses perubahan sosial itu
terjadi. Hal ini karena kultur masyarakat di desa tersebut yang bersifat
terbuka terhadap pendatang, toleran dan egaliter masyarakatnya sehingga bisa
menerima proses perubahan yang terjadi. Implikasi hasil kajian ini terhadap
implmentasi pembelajaran Sastra di SMA /MA menegaskan pentingnya siswa memiliki
kerangka pikir dan ilmu pendukung lain dalam memahami sebuah karya sastra dari
sisi aspek sejarah, sosiologi dan antropologi, sehingga bisa memahami dan
memaknai pesan sebuah karya sastra secara lebih tepat
Kata Kunci: Novel, Sosiologi
Sastra, Struktural Genetik
Abstrac
This study examines Sapardi Djoko
Damono's Novel Suti related to social change in Java society, with the approach
of Genetic Structural theory. Methods of data collection using text analysis
and structural analysis of literary works of intrinsic aspects of
characterizations, settings, plot and point of view. While the text analysis of
the genetic structuring approach, looking at social changes from aspects of the
world view, the facts of humanity, social class and collective subjective. The
goal is to find out how the process of social change that occurs in the Java
community in a literary work. The result of the research explains that the
process of social change in Javanese society in Suti novel happened evolutively
and peacefully. No social upheaval or conflicts have occurred in the community
during the process of social change. This is because the community culture in
the village that is open to the immigrants, tolerant and egalitarian community
so that it can accept the process of change that occurred. The implications of
this study on the imple- mentation of Literature learning in high school
emphasize the importance of students having a frame of mind and other
supporting sciences in understanding a literary work from the aspect of
history, sociology and anthropology, so as to understand and interpret the
message of a literary work more precisely
Keywords: Novel, Sociology of
Literature, Genetic Structural
PENDAHULUAN
Sebuah karya sastra tidak semata sebagai hasil imajinasi
fiktif yang terlepas dari sebuah rasa kemanusiaan dan kenyataan sosial. Rasa
kemanusiaan dalam karya sastra mampu menerobos sekat-sekat perbedaan budaya.
Sastra bisa menjadi senjata kemanusiaan untuk memangkas batas-batas yang
memisahkan manusia. Akan tetapi, tidak berarti menyatakan bahwa semua manusia
sama rata sama rasa. Sastra hanya mengingatkan manusia tidak mungkin hidup
tanpa keberadaan manusia yang lainnya. Bisa jadi manusia memiliki nasib yang
sama, akan tetapi dengan perjuangan, kegigihan, dan keberuntungan nasib yang
kemudian menjadikan mereka berbeda. Menurut Ignas Kleden (2004: 47) dalam
bukunya Karya Sastra dalam Enam
Pertanyaan, bahwa analisis karya sastra juga mengungkapkan kondisi riel
yang terjadi di masyarakat.
Sastra juga mempunyai fungsi sosial atau manfaat yang tidak
sepenuhnya bersifat pribadi. Jadi, permasalahan dalam sebuah karya sastra juga
menyiratkan sebuah permasalahan sosial yang terjadi di lingkungan masyarakat
seperti masalah tradisi, konvensi, norma, genre, simbol, dan mitos. Sastra juga
dikaitkan dengan kondisi politik, ekonomi dan sosial tertentu. Penelitian
sastra dilakukan untuk menjabarkan pengaruh masyarakat terhadap sastra dan
kedudukannya dalam masyarakat. Pada aliran Marxisme, kritik sastra dilakukan
untuk memberikan sebuah penilaian dan menghakimi yang didasarkan pada kriteria
politik dan etika non sastra. Aliran Marxisme tidak hanya menunjukkan kaitan
dan dampak karya sastra, tapi juga mendikte kaitan dan dampak yang seharusnya
ada.
Novel Suti karya
Sapardi Djoko Damono, diakui oleh penulisnya sebagai novel tentang perubahan
sosial pada sebuah masyarakat Jawa. Ada tiga alasan mengapa novel ini layak
untuk dikaji, yaitu: pertama, Novel Suti menceritakan dua kehidupan social yang berbeda, yaitu sosok
Suti yang mewakili kalangan miskin dan keluarga Sastro yang mewakili kalangan
priyayi. Kedua sosok bergulat dan berjuang untuk mempertahankan sebuah
kehidupan di tengah situasi perubahan sosial masyarakat dengan setting sosial
konflik politik pra dan pascaperistiwa 1965. Kedua, Novel
Suti memberikan inspirasi dan spirit
positif tentang sebuah cita-cita harus diperjuangkan secara sungguh-sungguh, dan bekerja keras dalam mencapai
cita-citanya tanpa harus peduli apa kata masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Ketiga, Novel
Suti merupakan karya perdana Sapardi Djoko Damono dalam menulis
novel karena sebelumnya ia fokus pada penulisan puisi.
Perubahan Sosial dalam Novel Suti yang ditulis oleh Sapardi Djoko Damono ini dikaji dengan
menggunakan pendekatan teoritik struktural genetik dari Lucien Goldmann. Dengan
pendekatan struktural genetik, akan dapat diketahui bagaimana seorang Sapardi Djoko
Damono menjelaskan perubahan sosial dalam novelnya.
Ada tiga tujuan kajian ini, yaitu (i) untuk mengetahui dan menjelaskan
aspek instrinsik, yaitu tokoh, tema, settting, alur, dan sudut pandang penulis dalam
proses perubahan sosial yang terjadi di masyarakat Jawa melalui karya Novel Suti. (ii) untuk
mengetahui bagaimana proses perubahan sosial di masyarakat Jawa dalam
pendekatan teori structural genetik pada aspek fakta kemanusiaan, subyektif kolektif atau trans
individual, pandangan dunia, dan kelas sosial, dan (iii) menjelaskan implikasi implementasi
kajian perubahan sosial dalam masyarakat
Jawa terhadap Pembelajaran apresiasi sastra Indonesia di
SMA/MA.
Di antara kajian novel yang relevan dengan pendekatan teori
strukturalisme genetik adalah
penelitian
Ruswendi Permana tentang Aspek Sosiologi
Sastra dalam karya Ajip Rosidi. Ruswendi menganalisis karya karya Ajip
Rosidi dengan teori strukturalisme genetik. Ada tiga pendekatan sosiologis
dalam melihat karya Ajip Rosidi yaitu sosiologi mimetis, sosiologi ekspresif,
dan sosiologi represif.
Penelitian kajian
sastra dengan pendekatan struktural genetik juga dilakukan oleh Gustaf Sitepu
dalam menganalisis Novel Asmaraloka karya
Danarto. Fokus utama yang diteliti oleh penulis adalah proses mental dalam
novel Asmaraloka, latar belakang
sosial dari penulisan novel Asmaraloka,
serta pandangan penulis terhadap masyarakat Indonesia sebagaimana terdapat pada
novel Asmaraloka.
Adapun kajian teoritik yang akan penulis
gunakan sebagai berikut.
1.
Perubahan Sosial
Kingsley
Davis mengartikan perubahan sosial sebagai perubahan yang terjadi dalam
struktur dan fungsi masyarakat. Sedangkan Mac Iver membedakan aspek perubahan sosial antara utilitarian elements dengan culture elements yang didasarkan pada
kepentingan-kepentingan manusia yang primer dan sekunder. Semua kegiatan dan
ciptaan manusia dapat diklasifikasikan ke dalam kedua kategori tersebut (dalam
Soerjono, 1990: 301). Artinya, semua mekanisme dan organisasi yang dibuat
manusia dalam upaya menguasai kondisi kehidupannya, termasuk di dalamnya sistem-sistem
organisasi sosial, teknik, dan alat-alat material.
2.
Struktural Genetik
Teori ini
ditemukan oleh Lucien Goldmann. Teori ini merupakan analisis struktur yang
memberikan perhatian terhadap asal usul karya sehingga mencakup kajian unsur
intrinsik dan ekstrinsik yang menyatakan pentingnya strukturalisme genetik
karena merupakan langkah pertama dalam sosiologi sastra yang mengarah pada
usaha memperlakukan sastra secara lebih proporsional. Dalam buku Pour une Sociologie du Roman, Goldmann seperti dikutip Nyoman Kutha Ratna
(2012: 121) menyatakan bahwa strukturalisme genetik menghadirkan kembali
perubahan orientasi secara total, hipĆ³tesis dasar yang lebih jelas daripada
karakter kolektif hasil kreasi karya sastra mengingat bahwa struktur dunia
sastra tersebut homologi dari struktur mental dari kelompok sosial tertentu
atau hubungan dengan keduanya dapat dipahami, sedangkan pada struktur ini dapat
dikatakan berasal dari penciptaan dunia imajinasi yang ditentukan oleh
strukturnya, dan penulis memiliki kebebasan secara total.
METODE PENELITIAN
Kajian ini menggunakan metode deskriptif
kualitatif dalam mendeskripsikan aspek perubahan sosial, yaitu analisis isi (content
analysis) pada Novel Suti karya Sapardi Djoko Damono, dengan pendekatan
struktural genetik. Metode penelitian analisis isi (content analysis)
merupakan salah satu metode dalam ilmu sosial yang digunakan untuk mempelajari
dan mengungkapkan arti yang lebih dalam serta proses-proses dinamis di belakang
komponen isi suatu karya sastra atau naskah tertentu.
Data dalam penelitian ini mencakup unsur intrinsik dalam
Novel Suti yang berhubungan dengan
tokoh, tema, alur, setting dan sudut pandang pengarang yang terdapat dalam Nove
Suti. Sedangkan data yang berkaitan dengan unsur
ekstrinsik terkait dengan perubahan
sosial dalam pandangan teori struktural genetik. Sumber data diperoleh melalui kalimat, pernyataan,
dan paragraf yang menggambarkan aspek perubahan sosial ayang terdapat dalam novel
Suti.
Teknik analisis data yang akan digunakan dalam penelitian
ini menggunakan analisis mengalir (flow model
of analysis), yang dikembangkan oleh Mattew dan Huberman (1992: 18),
terdiri dari empat komponen sebagai berikut.
1. Pengumpulan Data
2. Reduksi Data
3. Sajian Data
4. Penarikan Kesimpulan
HASIL DAN
PEMBAHASAN
Analisis
Instrinsik Novel Suti Menurut Teori Strukturalisme Genetik
A. Tokoh
1.
Suti
Suti
selain menjadi judul novel
sekaligus juga tokoh sentral dalam cerita. Sapardi Djoko
Damono di awal cerita menggambarkan Suti sebagai sosok anak yatim dari seorang
keluarga janda. Ibu Suti sering kawin cerai. Suti memiliki nama lengkap Sutini.
Suti digambarkan sebagai sosok orang yang suka konyal kanyil (gak bisa
diam, banyak gerak). Perilaku Suti ini oleh orang di sekitarnya dianggap
sesuatu yang wajar,
meskipun tidak harus seperti itu. Berikut kutipan novel yang menggambarkan
sosok Suti:
Perempuan muda itu yatim, dan itu
mungkin sebabnya orang desa cenderung menerima sebagai hal yang wajar sewajar
wajarnya kalau ada berita aneh tentangnya. Meskipun mereka tentu juga tahu bawa
orang yatim tidak harus aneh tingkah lakunya. Suti, nama lengkapnya Sutini,
masih di ujung belasan tahun umurnya. Dan sifatnya yang konyal kanyil bisa
ditafsirkan macam macam. (hal. 5)
Meskipun
Suti orang yang tidak bisa diam, banyak gerak, dan berasal dari lingkungan
biologis yang tidak jelas, akan tetapi Suti merupakan sosok pekerja keras,
ringan tangan (suka membantu), dan bekerja yang baik. Suti bekerja di keluarga
tetangganya yang priyayi, yaitu keluarga Pak Sastro dan Bu Sastro. Suti juga
digambarkan sebagai orang yang tidak sungkan untuk mengerjakan apapun yang diperintahkan,
selagi luang maka akan langsung dikerjakan, tidak ada perdebatan atau diskusi
soal pekerjaan yang diberikan. Suti digambarkan sebagai tokoh pekerja keras di
tengah lingkungan kemiskinan yang menderanya. Berikut kutipan tentang sosok
Suti sebagai pekerja keras.
Perempuan muda konyal kanyil yang pernah
diceritakan sedang mencuci pakaian di sungai itu akhirnya bekerja membantu
meringankan pekerjaan bu Sastro. Pak sastro suka pelayannya karena tidak banya
cing cong hanya sesekali menengak ciu. (hal. 36)
2.
Parni
(ibu Suti)
Parni
adalah ibu Suti, yang digambarkan sebagai sosok perempuan yang memiliki
pekerjaan tidak jelas. Sebagai seorang janda yang memiliki anak satu, Parni
dituntut untuk bekerja serabutan. Apapun yang bisa dikerjakan dan menghasilkan
uang, akan dikerjakanya. Sapardi Djoko Damono menggambarkan Parni sebagai sosok
yang mudah bergaul dengan banyak orang. Hal ini dibuktikan ketika Parni harus
berangkat ke kota untuk bekerja, dan menitipkan Suti ke tetangganya, hampir
semua tetanggannya tidak ada yang menolak dititipi Suti. Salah satu alasannya
karena Parni selalu membawa oleh-oleh ketika pulang kerja untuk tetangga yang
mau menjaga anaknya sepanjang hari.
Kadang kadang kalau ibunya ke kota, ia
(Suti) dititipkan saja ke salah seorang tetangga yang dengan senang hati
menjaganya seharian. Parni selalu membawa oleh oleh untuk tetangga itu sepulang
kerja. (hal.
11)
3.
Pak Sastro
Pak
Sastro berasal dari keluarga priyayi. Orang tuanya dulu pernah bekerja sebagai
pegawai lurah keraton (abdi dalem) di Kasunanan. Mereka tinggal di Ngadijayan,
sebuah wilayah yang masih berada dan dekat dengan lingkungan keraton. Pak
Sastro nama aslinya Sumardi, dan ketika dewasa ditambahkan nama priyayinya
sehingga menjadi Sastrosumardi. Pak Sastro menikah dengan bu Sastro karena
kedekatan kedua orang tua mereka yang sama sama kerja di keraton Kasunanan.
Pak
Sastro merupakan sosok tokoh yang ganteng dan enak diajak bicara. Sapardi Djoko
Damono menggambarkan tokoh Pak Sastro sebagai lelaki flamboyan yang suka main
wanita di luar. Sebagai sosok priyayi yang ganteng dan punya pekerjaan tetap,
ia banyak digandrungi wanita saat itu. Tidak hanya oleh kalangan perempuan baik
yang sudah beristri ataupun gadis, tapi juga oleh kalangan calo-calo perempuan.
Memang sudah lama ada calo yang suka
menawarkan perempuan di desa desa sekitar Tungkal, umumnya malah yang punya
suami. Ada yang suaminya memang masuk jaringan calo, ada juga yang sama sekali
tidak tahu menahu tentang percaloan itu. Kawin – cerai- kawin lagi- cerai lagi
bukan masalah besar di situ. Mungkin itu sebabnya ada saja suami yang merelakan
istrinya di kelola calo. ……… Pak Sastro oke
tampangnya, ditambah anggapan orang dia seorang priyayi. Lelaki beginian yang
diincar tidak hanya oleh perempuan yang masih punya suami, tapi juga, dan
terutama para calo. (hal.
85)
Kebiasaan
Pak Sastro yang suka main dengan wanita di luar, didukung oleh kebiasaan
masyarakat setempat dimana budaya kawin cerai adalah sesuatu yang biasa. Di
daerah itu sudah lama ada budaya calo perempuan, yaitu seorang laki laki yang
menawarkan perempuan-perempuan kepada laki-laki lain untuk ditiduri atau
menjalin hubungan sesaat, tentu dengan imbalan materi. Para laki-laki yang
punya kebiasaan main judi, mabuk, dan tidak punya pekerjaan tetap, terkadang
juga merelakan istrinya dijual calo pada laki-laki lain.
4.
Bu Sastro
Bu
Sastro adalah anak keluarga priyayi abdi dalem yang bekerja sebagai lurah di
keraton Kasunanan. Pengarang tidak menjelaskan siapa nama aslinya. Orang hanya
menyebut dengan nama panggilannya, yaitu Minul. Meski terlahir dari seorang
keluarga priyayi, bu Sastro termasuk priyayi yang sangat moderat. Pandangan
hidupnya tidak pernah melihat seseorang dari persoalan kasta, golongan, kelas
atau silsilah dan harta kekayaan. Hal ini berbeda dengan pandangan para kaum
priyayi pada umumnya yang rata-rata masih memegang teguh persoalan identitas
budaya priyayi yang akrab melihat orang lain dari sisi garis keturunan,
silsilah usul, atau kekayaan. Atau melihat bibit, bobot, dan bebet dalam
mencari pasangannya.
Dibandingkan
keluarga Pak Sastro suaminya, sebenarnya darah priyayi Bu Sastro lebih kuat
karena ia memiliki hubungan langsung keluarga keraton, yaitu masih cucu
garwo ampil pangeran. Sementara keluarga suaminya dulu orang tuanya hanya
pekerja keraton yang kebetulan memiliki kemampuan menata wayang sehingga
diangkat menjadi lurah. Jadi, seharusnya justru yang lebih kuat mempertahankan
tradisi dan kultur priyayi adalah Bu Sastro ketimbang Pak Sastro.
Sikap
moderat bu Sastro diperlihatkan ketika ia membiarkan anaknya Kunto menjalin
hubungan dengan Suti, seorang yang berasal dari keluarga miskin dan bukan
keturunan priyayi. Sikap Bu Sastro justru banyak ditentang oleh keluarga Pak
Sastro yang lebih melihat seseorang dari bibit, bobot, dan bebet (garis
keturunan, silsilah, dan kekayaan).
“Apa sih bibit? Apa pula bobot dan bebet di zaman sekarang
ini mbakyu?” demikian jawabnya ketika bu Mantri, ipar pak Sastro
mengingatkannya tentang hubungan mereka. (hal. 116)
Sikap
egaliter bu Sastro diperlihatkan ketika ia menganggap Suti sudah menjadi bagian
anggota keluarganya. Bu Sastro tidak menganggap Suti sebagai orang lain. Bahkan
dalam keseharian, Bu Sastro seakan tidak pernah menganggap Suti sebagai
pembantu, tapi seolah sudah menjadi anaknya sendiri. Perhatikan bagaimana Bu
Sastro memperlakukan Suti seperti dalam kutipan di bawah ini.
“Cah Ayu, kakakmu Kunto mau sekolah di
Gajah Mada,” kata Bu Sastro kepada Suti. Panggilan cah ayu kepada Suti lama
kelamaan terdengar biasa saja ditelinganya, meskipun sama sekali tidak
membuatnya berubah menjadi priyayi. (hal. 60)
…………
“Suti, kamu anak cantik gak suka ribu
ribut. Kami sayang padamu, kamu tahu, kan?”(hal. 49)
Sosok
Bu Sastro dalam gambaran Sapardi Djoko Damono adalah tipe ideal perempuan
priyayi Jawa, yaitu sabar, menerima apa adanya, bisa menerima realitas,
mengerti perasaan orang lain. Bu Sastro memiliki sifat tidak suka ngarasani
atau membicarakan aib orang lain. Karena bu Sastro juga tidak suka kalau
dirinya atau suaminya menjadi bahan gunjingan orang lain. Hubungan Bu Sastro
dan Pak Sastro sudah tidak hangat dan mesra lagi semenjak kedua anaknya mulai
tumbuh besar dan pak Sastro sering berpindah-pindah kerja ke kota lain.
5.
Tomblok (Pariyem)
Tokoh
Tomblok dalam novel ini digambarkan sebagai teman dekat Suti. Tomblok adalah
personifikasi sosok orang sering diajak ngobrol, atau curhat sama Suti. Pada
bagian awal cerita, Tomblok sebagai teman Suti saat mencuci pakaian di pinggir
sungai. Dalam budaya masyarakat pinggiran, sungai bukan semata untuk tempat mencuci pakaian, tapi juga tempat
untuk berbagi berbagai cerita, kabar, gosip tentang apa saja, termasuk urusan
lingkungan, tetangga, keluarga, dan lainnya. Sapardi Djoko Damono menggambarkan
secara jelas budaya masyarakat pinggiran dengan sungai sebagai salah satu pusat
aktifitas keseharian.
Sungai adalah salah satu bagian penting
kehidupan di kakmpung itu, bukan hanya sebagai tempat cuci, tapi juga pusat
penyebaran cerita burung. (hal. 4)
Sapardi
Djoko Damono menggambarkan tokoh Tomblok sebagai sosok perempuan penyebar
cerita burung karena banyak mengetahui rumor, gosip, kabar burung yang ada di
masyarakat. Bahkan terhadap isu mengenai keluarga Pak Sastro Tomblok lebih
banyak tahu ketimbang Suti. Tomblok lah yang banyak membisikkan siaran burung
gagak kepada Suti. “Kamu memang keterlaluan Sut, tidak pernah tahu apa apa
tentang majikanmu,” kata Tomblok.
(hal. 83)
6.
Kunto
Kunto
dan Dewo dalam novel ini berperan sebagai anak dari keluarga Pak Sastro. Kunto
merupakan anak sulung (pertama) dan Dewo anak bungsu (kedua). Kunto digambarkan
sebagai pemuda dengan karakter dan sosok yang tenang pembawaannya, kalem,
emosinya sangat terkontrol dan lebih berpendidikan. Sedangkan, Dewo digambarkan
sebagai pemuda yang karakternya lebih kasar karena banyak bergaul dengan
anak-anak jalanan diluaran, suka nongkrong, pemberani, gaya berandalan, sering
bertengkar, tapi tidak suka minum ciu, suka mencuri tebu, suka menjerat anjing
liar untuk dijual ke tukang sate.
Kunto
juga digambarkan oleh pengarang sebagai sosok yang penurut, anak sekolahan,
kutu buku, pintar, sehingga di sayang banyak guru. Kunto orangnya tidak mudah
terbawa emosi seperti adiknya Dewo. Ketika terjadi pertengkaran antara Dewo dan
Pak Sastro, Kunto mampu bersikap netral, menjaga jarak dan tidak larut di
antara keduanya.
“……. Kunto tak
pernah mau turut campur, tidak karena mau bersikap hati-hati karena ia malah
bisa menjadi korban ketegasan sikap ayah dan adiknya. Tidak pernah ada niat dan
nyali untuk ikut-ikutan membanting gelas. Tidak pernah ada. (hal. 44-45)
Dalam
cerita novel Suti ini, sosok Kunto digambarkan sebagai salah seorang yang
mencintai Suti, meski dengan bahasa yang tidak langsung. Sapardi Djoko Damono
menggambarkan kedekatan Kunto dengan Suti bahkan menganggap Suti sebagai adik
kandungnya.
“Suti ini apamu, Kun?”
“Adikku,” jawab Kunto lebih enteng lagi.
Tanpa menunjukkan rasa kaget, Kuswanto
melanjutkan selidiknya.
“Adikmu kan cuma si Semprul itu!”
Semprul adalah nama populer Dewo di kampungnya yang lama.
“Ya biar saja, pokoknya ini adaikku. Ya
kan Sut?”(hal.
54)
7.
Dewo
Tokoh
Dewo dalam cerita ini tidak memiliki peran utama, melainkan hanya sebagai
pelengkap dalam kehidupan keluarga Bu Sastro. Sosok Dewo sebagai anak kedua
keluarga Bu Sastro digambarkan memiliki karakter yang berbeda dengan kakaknya, Kunto. Kalau
Kunto dikenal sebagai anak yang rajin sekolah, pintar, suka baca, tidak banyak
bergaul dengan anak-anak di luar, kurang dekat dengan perempuan, maka tidak
demikian dengan Dewo. Dewo adalah sosok antitesa dari Kunto. Dewo digambarkan
sebagai tokoh yang memiliki karakter keras, suka bergaul dengan anak anak
jalanan, suka tawuran, tapi tidak suka minum ciu. Dewo memiliki kebiasaan
menjerat anjing liar milik tetangga yang berkeliaran di kampung, kemudian di
jual ke tukang sate.
Dalam
hubungan antara Dewo dengan Bapaknya, tokoh Dewo digambarkan sebagai orang yang
banyak tahu rahasia bapaknya diluar. Dewo tahu apa dan bagaimana kelakuan
bapaknya diluar rumah termasuk dalam urusan soal perempuan. Oleh sebab itu,
bapaknya juga mengerti kalau nasehatnya selama ini tidak selalu didengar dan
diperhatikan oleh Dewo. Pak Satro lebih memilih diam menghadapi sikap Dewo
Anak laki laki itu tahu sebenarnya sepak
terjang ayahnya selama ini, terutama setelah pindah dari kota. Ayahnya juga
tahu bahwa anaknya juga tahu. Itu sebabnya kalau nasihatnya tidak digubris,
Sastro memilih diam. Pernah kemarahan kepada bontotnya itu malah menyulut
kemarahan yang lebih hebat kepada Dewo. (hal. 106-107)
8.
Enih
Sosok
tokoh Enih dalam novel Suti hanya muncul sesaat, yaitu ketika menemani pak
Sastro pada saat tinggal di Jakarta karena pindah tugas. Tidak jelas asal usul
tokoh Enih ini. Pengarang hanya menyebutkan bahwa Enih pada awalnya adalah
penjaga kantin. Tidak disebutkan apakah di kantin kantor Pak Sastro atau di
tempat lain. Enih di minta pak Sastro untuk menemaninya membantu urusan rumah
pak Sastro, seperti menyiapkan makanan, membersihkan rumah, belanja kebutuhan
rumah tanggal dan lainnya.
Sosok
Enih bahkan digambarkan agak istimewa oleh pengarang, karena memposisikan Enih
tidak sekedar menjadi pembantu, tapi juga sekaligus teman bagi pak Sastro untuk
mengusir rasa sepinya. Hal ini dijelaskan oleh pengarang ketika Pak Sastro
ternyata juga sering mengajak Enih menonton film.
“Bapak sekali kali mengajak saya nonton
juga lho mbak,” katanya.
“Bapak sukanya film apa?” tanya Kunto.
“Perang,” Pak Sastro menjawab.
“Bohong, hehehe” kata Enih, “saya suka
diajak bapak nonton film yang banyak roman-romannya itu lho, Mas.”(hal.142)
Berdasarkan deskripsi
beberapa tokoh di atas, Sapardi Djoko Damono tampaknya ingin menjelaskan bahwa
tokoh tokoh dalam Novel Suti termasuk dalam kategori tokoh yang sangat
sederhana karakternya (simple character) bukan tokoh rumit. Tokoh sederhana
adalah tokoh yang hanya memiliki satu kualitas pribadi tertentu. Tokoh seperti
Suti sebagai tokoh protagonis, merupakan tokoh utama dalam novel ini
digambarkan sebagai tokoh yang memiliki satu kualitas pribadi tertentu, yaitu
memiliki sifat atau karakter yang sangat mudah bergaul dengan siapa saja, tapi
tetap bisa menjaga diri, mudah menyesuaikan dengan lingkungan sekitar.
Demikian juga dengan
tokoh Kunto sebagai anak pertama keluarga Pak Sastro, digambarkan sebagai sosok
kutu buku, terpelajar, tapi kurang gaul dan tidak dekat dengan sosok perempuan.
Keberadaan Suti yang diharapkan oleh Bu Sastro agar Kunto punya ketertarikan
dengan perempuan.
Sosok tokoh yang
memiliki dua karakter berbeda tetapi masih dalam kategori positif dan tidak
mengganggu cerita, yaitu sosok tokoh Bu Sastro dan Pak Sastro. Dalam deskripsi di
atas, sosok Bu Sastro digambarkan sebagai perempuan sekaligus istri yang baik
bagi suaminya Pak Sastro, sekaligus ibu yang bijak dan penuh kasih sayang
terhadap anak anaknya. Akan tetapi, Sapardi Djoko Damono juga menggambarkan
tokoh Bu Sastro sebagai perempuan yang tegas ketika berhadapan dengan orang
lain yang dianggap bisa merusak harga diri dan kehormatan keluarganya, seperti
ketika ia membela Dewo pada kasus kematian anjing ibu Mayor.
Adapun Pak Sastro juga memiliki dua karakter yang berbeda
ketika di dalam rumah dan di luar rumah. Di dalam rumah, sosok Pak Sastro
digambarkan sebagai suami yang
baik bagi
Bu Sastro, dan bapak bagi kedua anaknya, yaitu Kunto dan Dewo. Di luar rumah,
sosok Pak Sastro digambarkan sebagai laki laki playboy yang suka main
perempuan lain yan bahkan sudah bersuami. Pak Sastro juga digambarkan memiliki
rasa suka terhadap Suti, perempuan yang membantu di lingkungan keluarganya. Pak
Sastro juga suka kepada Enih, perempuan lain yang selama ini membantunya selama
ia tinggal sendirian di Jakarta, karena urusan pekerjaan kantor.
B. Tema
Novel Suti ini
mengangkat tema perubahan sosial masyarakat Solo dari kalangan bawah,
masyarakat miskin yang diwakili oleh tokoh Suti, dan kehidupan keluarga priyayi
mantan abdi dalem keraton Surakarta, yang pindah ke daerah pinggiran di Desa
Tungkal yang diwakili oleh Pak Sastro dan Bu Satro. Sapardi Djoko Damono
mengakui bahwa Novel Suti ini bertemakan perubahan sosial masyarakat
dari pra modern menuju era modern. Perubahan sosial terjadi dan bergerak dari
sebuah kampung pinggir kota (Desa Tungkal) menuju tengah kota (Solo, Jakarta,
Bandung).
C. Alur
Alur atau plot dalam
novel Suti bersifat lurus dan progresif, yaitu ada kemajuan dalam proses
penceritaannya. Alur ini dibagi menjadi tiga tahapan, yaitu tahap awal berupa
pengenalan tokoh tokohnya, lalu tahap kedua dimana mulai masuk ketengah muncul
konflik konflik di antara tokoh tokohnya, dan ketiga diakhiri dengan
penyelesaian, yaitu dimana tokoh tokoh
yang saling berkonflik tadi mulai menemukan mekanisme penyelesaian.
Gambar 3: Alur dalam Novel Suti
D. Setting
Ada tiga setting yang menjadi aspek intrinsik dalam
novel ini yaitu setting tempat, setting waktu dan setting sosial budaya. Untuk
setting tempat, ada beberapa lokasi kejadian sebagai bagian dalam cerita novel Suti. Yang
paling utama adalah Desa Tungkal, sebuah desa pinggiran Kota Solo. Desa Tungkal
ini menjadi setting tempat yang utama dalam novel Suti. Pengarang menyebut Desa
Tungkal sebagai panggung dongeng yang akan diceritakan dalam novelnya
Panggung dongeng ini adalah sebuah
kampung di pinggiran kota Solo, tepatnya di Desa Tungkal. Waktu itu tahun
1960-an, desa tersebut (kampung?) mulai kedatangan orang orang yang berasal
dari pusat kota, harga tanah sangat murah sebab belum tersentuh oleh rencana
pembangunan (hal.14).
Setting
tempat kedua adalah Jakarta. Jakarta dalam novel ini menjadi setting tempat
kerja salah satu pelaku utama, yaitu Pak Sastro ketika pindah kerja ke Jakarta
sebagai bagian dari tugas kantornya. Pengarang tidak menyebutkan secara
spesifik di mana lokasi tinggal Pak Sastro di Kota Jakarta. Akan tetapi, kalau
dibaca dalam novel ini serta memperhatikan beberapa dialog di dalamnya,
khususnya ketika seorang perempuan bernama Enih bercerita kalau dia selama
menemani Pak Sastro pernah di ajak jalan-jalan ke Mayestik, sebuah lokasi dekat
Blok M, serta kalau melihat tempat kerja Pak Sastro yang di dinas jawatan PU
(Pekerjaan Umum), dan sebagaimana kita ketahui bahwa kantor pusat Kementerian
PU ada di daerah Kebayoran Baru atau dekat dengan Blok M.
“Kadang-kadang Bapak mengajak saya ke
Pasar Mayestik juga, Mbak. Beliau suka sekali jus alpukat. Katanya di Solo gak
ada, benar ya Mbak? Hehehehe masak gak ada (hal 139).
Setting
tempat ketiga adalah Yogyakarta dan Bandung. Tidak banyak yang bisa diceritakan
dalam novel ini terkait setting kota Yogyakarta dan Bandung karena dia tidak
menjadi bagian inti dari fokus cerita, akan tetapi hanya sebatas perlintasan,
yang muncul sekilas. Penyebutan kota Yogyakarta hanya sesekali muncul terkait
tempat kuliah Kunto yang akan melanjutkan ke UGM
“Gajah Mada itu di Yogya, Sut”
“ Oh saya kira ada Gajah Mada juga di
Jakarta”
“Gajah Mada ya hanya ada di Yogya, Sut”
...............................
Kemudian Bu Sastro menjelaskan bahwa
bulan Agustus nanti, anak sulungnya itu harus sudah berangkat ke Yogya, ia akan
menemaninya. Ia minta Suti juga ikut supaya kalau Bu Sastro kembali ke Solo ada
yang diajak ngobrol. (hal.
60-61)
Setting
tempat yang ke empat, yaitu Surabaya. Kota Surabaya muncul pada bagian akhir
cerita saat Kunto sedang mengadakan pesta pernikahannya dengan Sarah di
Surabaya. Konteks kota Surabaya menjadi sedikit menarik karena di sini pembaca
bisa mengetahui bagaimana pikiran dan perasaan Kunto yang ternyata tetap tidak
bisa hilang dari sosok Suti, ketika pengarang menggambarkan bagaimana sosok
Suti tiba-tiba muncul - dalam alam bayangan Kunto - pada acara pernikahan
Kunto, meskipun itu hanya sebuah ilusi belaka.
Bu Sastro yakin telah mendapat restu
dari almarhum suaminya untuk menyelenggarakan pesta kawin Kunto secepatnya di
Surabaya. (hal.
27)
“Tadi saya lihat Suti di antara tamu,
Bu,” bisiknya cepat cepat. (hal. 28)
Setting waktu kejadian sekitar
tahun 1960-an. Era tahun 1960-an adalah era politik saat pertarungan dan
konflik ideologi sangat kuat, khususnya antara kelompok komunis yang diwakili
oleh PKI, dengan kelompok Islam (Masyumi, NU) dan juga kelompok nasionalis
(PNI). Kota Solo sendiri secara peta geopolitik lebih banyak beraliran politik
abangan yang secara ideologis dekat dengan komunis dan nasionalis, ketimbang
kelompok Islamis.
Meski
demikian, dalam penjelasan waktu tahun 1960-an, Sapardi Djoko Damono sama
sekali tidak menyinggung situasi politik pada tahun tahun tersebut. Sapardi
hanya sekilas menyinggung bahwa panggung drama novel ini terjadi pada tahun
1960-an. Pengarang berupaya untuk menarik batas, tidak masuk terlalu dalam
menjelaskan persoalan politik sebagai setting cerita era 1960-an.
Pengarang
hanya sekilas menjelaskan setting waktu dalam panggung dongeng Novel Suti
ini. Setting waktu untuk Desa Tungkal dijelaskan oleh pengarang sebagai Desa….”
Sebuah Desa ( atau Kampung?) yang mulai kedatangan orang orang yang berasal
dari pusat kota, harga tanaah sangat murah sebab belum tersentuh oleh rencana
pembangunan kota …” (hal 15). Dari penjelasan awal tentang Desa Tungkal,
pengarang mulai membangun sebuah alur cerita novel Suti, menjelaskan awal mula
terjadinya perubahan sosial di Desa Tungkal yang salah satu penyebabnya adalah
terjadinya pertambahan penduduk Desa Tungkal akibat terjadinya migrasi penduduk
dari pusat kota menuju pinggir kota yaitu di Desa Tungkal.
Setting
budaya masyarakat desa Tungkal masih terdapat tradisi kebiasaan mistik seperti
percaya kepada makam atau kuburan, yang dianggap memiliki kekuatan atau bisa
menjadi penghubung dengan kekuatan yang lebih tinggi. Dalam cerita ini,
pengarang menggambarkan adanya makam Mbah parmin (khusus pada babak I bagian 3), yang dikenal sebagai makam keramat, dan
sering menjadi rujukan masyarakat kota untuk berziarah, mencari berkah atau
washilah, yaitu kepercayaan bahwa makam bisa menjadi perantara untuk memenuhi
hajat kebutuhan manusia.
E. Sudut
Pandang
Dalam Novel Suti,
pengarang menggunakan sudut pandang orang ketiga yang serba tahu. Di sini
pengarang bertutur dan bercerita seolah olah dia menjadi bagian dari alur
cerita novel tersebut. Di dalam sudut pandang orang ketiga (dia)-mahatahu,
pengarang berada di luar cerita, biasanya pengarang hanya menjadi seorang
pengamat yang mahatahu dan bahkan mampu berdialog langsung dengan pembaca.
Pada novel Suti, sudut
pandang pihak ketiga yang dilakukan oleh Sapardi Djoko Damono, seolah
memosisikan bagian dari inti cerita tersebut. Bahkan seolah olah penulis hadir
dan terlibat dalam proses cerita, melebur dan menyatu didalam alur cerita.
Sehingga pembaca akan merasakan bahwa membaca Novel Suti seolah olah
membaca riwayat atau kisah kehidupan nyata dari seorang penulis Sapardi Djoko
Damono. Beberapa tokoh yang diceritakan dalam novel ini khususnya kehidupan
keluarga Pak Sastro, sebenarnya secara tidak langsung menceritakan kehidupan
Sapardi Djoko Damono itu sendiri.
Analisis
Perubahan Sosial Novel Suti Menurut Teori Strukturalisme Genetik
A. Subyektif
Kolektif
Subyektif kolektif adalah pikiran pikiran individu yang ditampilkan dalam struktur kelompok.
Sedangkan dunia intersubyektif adalah dunia yang dihuni bersama individu lain.
Sehingga transindividual subyektif menolak adanya kultus individu dan mendorong
munculnya energy baru untuk membangun pandangan dunia. Dalam Novel Suti,
subyektif kolektif untuk pikiran individu terwakili oleh pandangan pandangan
ibu Sastro dalam keluarga Priyayi yang merupakan bagian dalam struktur kelompok
kalangan priyayi, seperti kutipan di bawah ini.
Diam diam perempuan sabar itu tahu antara lain dari
bisikan Suti bahwa anaknya malah sudah menjadi panutan anak anak desa sebayanya- tidak hanya dalam
perkara mencuri tebu tetapi juga yang lain lain termasuk menjerat anjing liar
untuk dijual ke warung sate anjing yang larisnya minta ampun (hal 44).
Dalam kutipan di atas memperlihatkan bahwa sosok Ibu Sastro selaku
perempuan priyayi tidak memandang dirinya serba tinggi dan merasa sok paling
tahu. Ia juga mau menerima masukan dari orang lain yang secara kasta dan strata
sosial lebih rendah dari dirinya. Perilaku anaknya di luar juga berkat bisikan dari Suti, seorang
perempuan lain di luar anggota keluarganya yang sudah dianggap seperti
anggota keluarga sendiri. Di sini sosok Bu Sastro menolak adanya kultus individu
terhadap dirinya termasuk dari segi gagasan dan pikiran, sehingga ia membuka
diri terhadap masukan dan pikiran orang lain.
“Anjing Ibu pernah nggigit orang, kan?” tuduhannya tegas. Dan memang benar. Janda itu
diam, tidak tahu harus menjawab apa. “apa
Ibu peduli? Apa Ibu minta maaf
pada yang digigit? Malah menyalahkannya kan? Malah menuduhnya telah mengganggu
anjing Ibu, kan?” (hal.
48)
Sosok Bu Sastro yang berasal dari keluarga Priyayi, selama ini identik dengan sikap
yang halus dan lemah lembut. Akan tetapi dalam novel Suti ini, penulis
menggambarkan sebaliknya bahwa sosok Bu Sastro selain lembut ternyata pada sisi
lain bisa bersikap keras dan tegas ketika melihat sesuatu yang dirasa tidak
adil. Penulis tidak ingin terjebak pada stereotype dalam menggambarkan sosok
perempuan priyayi. Transindividual
subyektif penulis ingin menghilangkan mitos dan kutlus individu terhadap
perempuan priyayi dan menampilkan sosok perempuan priyayi dalam wajah baru yang
beda, yaitu mampu menjadi kekuatan baru dengan menjadi sosok yang lebih keras
dan tegas dibandingkan penggambaran sosok priyayi lainnya
“Tetangga
kita itu memang harus dilawan, mentang mentang janda prajurit seluruh desa suka
berlebihan menghormatinya.” (hal 49).
Sedangkan subyektif kolektif pada individu
kelompok marginal atau non priyayi dimunculkan pada sosok Suti, seorang
perempuan desa dari pinggiran kota, berasal dari keluarga miskin dengan
kehidupan sosial yang pas pasan. Meski demikian, penulis menggambarkan sosok perempuan
Suti dalam perspektif subyektif kolektif memiliki tingkat kecerdasan berpikir
melebihi anak anak seusianya. Hal ini terjadi karena Suti mengalami perubahan
dan lompatan berpikir sebagai hasil proses interaksi dan terlibat dalam
kehidupan keluarga Sastro. Di situlah Suti mengalami proses transformasi
pemikiran, pengetahuan, sikap, tingkah laku, tindakan dan cara pandang.
Perempuan muda itu telah merasa menjadi
susah senang Bu Sastro,
tampaknya. Ia pulang ke rumah ibunya kalau pekerjaan di keluarga Sastro
selesai, biasanya habis makan malam. Demikianlah Suti telah merasa pindah
rumah, pindah keluarga adalah istilah yang tepat. Priyayi itu berjanji untuk memperlakukan
Suti sebaik baiknya. (hal.
58-59)
Dalam perspektif
subyektif kolektif dan trans individu, perubahan sosial terjadi pada sosok Suti
berkat keterlibatannya dalam keluarga Sastro. Suti mengalami lompatan pemikiran
dan transformasi individu hasil dari keikutsertaannya dalam keluarga Sastro.
Apa yang dilihat, didengar, dirasa dari pengamatan terhadap gaya hidup, cara
bicara, pola pikir dan interaksinya terhadap hal hal baru, telah membuat
terjadinya proses transformasi perubahan pada sosok individu Suti.
“Cah Ayu, kakakmu Kunto mau sekolah di
Gadjah Mada”. Panggilan Cah Ayu lama kelamaan terdengar biasa juga ditelinganya
meskipun sama sekali tidak membuatnya merasa berubah menjadi priyayi. Ia diam
dan Bu Sastro melanjutkan…(hal. 60)
Proses transformasi
individu yang mempengaruhi kesadaran subyektif kolektif seorang Suti ketika
sudah berubah menjadi bagian dari keluarga priyayi, tetap membuat Suti tidak
berubah dalam artian menjadi beda dari sisi perilaku sosial. Suti mencoba untuk
tetap menjadi dirinya sendiri kendati ia telah menjadi bagian dari keluarga
Priyayi. Suti tidak menjadi sombong, angkuh, atau menjaga jarak dengan teman
temannya. Panggilan Cah Ayu dari Bu Sastro yang sangat dihormatinya pada
awalnya membuat ia kaget karena seolah membuat ia berubah dirinya dari kasta
rendah, bawahan menjadi kasta priyayi.
Dalam hal di atas, kerangka berpikir seorang Sapardi
Djoko Damono dalam perspektif struktural genetik pada aspek kesadaran subyektif
kolektif menggambarkan bahwa proses perubahan sosial pada level individual,
yaitu sosok Suti dan Bu Sastro terjadi secara evolutif, pelan pelan dan
transformatif. Hal ini sesuai dengan gaya sosok Sapardi Djoko Damono sebagai
orang yang tenang dalam berbicara dan bertutur kata, sehingga penggambaran
sosok Suti ketika berproses menjadi priyayi sebagai sesuatu yang seolah biasa
biasa saja.
Suti mulai meraba raba posisinya dalam
kehidupan Prabu Kresno-nya itu. Mencoba menggeser lokasi dirinya sendiri dalam
sebuah peta yang rasanaya semakim lama mencakup daerah yang semakin luas. Ia
merasa diangkat anak oleh Bu Sastro, oleh Pak Sastro diperkenalkan sebagai
anaknya oleh Kunto diperkenalkan sebagai saudara kepada kawan kawannya. (hal 143)
Kutipan di atas
menjelaskan perasaan subyektif kolektif seorang perempuan Suti yang berasal
dari kelas bawah, ketika masuk dalam lingkungan keluarga priyayi Pak Sastro.
Sikap dan penerimaan keluarga Pak Sastro yang memposisikan Suti bukan sebagai
orang lain, tapi sudah menganggap Suti sebagai bagian dari keluarga besar
mereka, memperlihatkan sikap keramahan dan kebaikan dari Pak Sastro dan
keluarganya. Suti mencoba meraba dan menebak posisi barunya tersebut, dan apa
yang harus dilakukannya. Karena semua orang di keluarga tersebut baik pada
dirinya meski dalam tingkatan yang berbeda.
B. Pandangan
Dunia
Dalam novel Suti,
pandangan dunia seorang
pengarang terkait kecenderungan suatu masyarakat tergambarkan ketika ia menjelaskan
situasi dan kondisi masyarakat desa Tungkal pada tahun 1960-an yang menurutnya
menjadi awal dari sebuah proses perubahan sosial.
Panggung dongeng ini adalah sebuah
kampung di pinggiran kota Solo, tepatnya Desa Tungkal. Waktu itu tahun 1960-an,
desa tersebut (kampung) mulai kedatangan orang orang yang berasal dari pusat
kota, harga tanah sangat murah sebab belum tersentuh oleh rencana pembangunan
kota, jauh dari Kraton Kasunanan, yang terletak di pusat kota.. (hal. 15)
Kutipan di atas
merupakan sebuah konstruksi pengarang dalam mendeskripsikan latar belakang sosial sebuah masyarakat yang menjadi
panggung utama dalam cerita novel Suti. Pandangan dunia pengarang dalam
mendeskripsikan latar belakang sosial terbagi menjadi tiga hal, yaitu (i) kondisi
Desa Tungkal pada tahun 1960-an, (ii) letak geografis Desa Tungkal,
dan
(iii) kebiasaan masyarakat Desa Tungkal. Dalam mendeskripsikan kondisi Desa
Tungkal pada awal tahun 1960-an, pengarang hanya sekilas menjelaskan situasi
masyarakatnya dimana saat itu terjadi proses migrasi warga dari pusat kota atau
pusat pemerintahan ke daerah pinggiran. Migrasi ini terjadi karena beberapa
sebab diantaranya harga tanah di daerah pinggiran yang masih sangat murah,
pembangunan yang semakin marak sehingga menyebabkan masyarakat menjadi semakin
terpinggirkan. Pusat kota lebih banyak untuk aktifitas pemerintahan, pusat
bisnis perdagangan dan jasa. Sehingga orang banyak memilih tinggal dipinggiran
kota yang relatif masih murah harga tanahnya. Migrasi juga terjadi karena adanya
beberapa keluarga priyayi yang sudah
tidak lagi tinggal di lingkungan Kraton Kasunanan atau mereka harus menjual
rumahnya sehingga harus pindah ke daerah pinggiran.
Di sinilah pengarang
dengan pandangan dunianya menjelaskan terjadinya perubahan sosial di masyarakat
dari sisi kepercayaan kosmologis di antaranya karena faktor migrasi orang kota
ke daerah pinggiran, yang membawa kebiasaan baru terkait makam keramat Mbah Parmin sehingga warga meniru apa yang
dilakukan orang kota terkait makam dan mendapatkan keuntungan baik ekonomis
maupun non ekonomis dari makam keramat Mbah Parmin.
Seperti kena sihir semua mengikuti Bu
Sastro menuju makam. Sampai di pintu gerbang Ibu itu mengucapkan kalimat tidak
jelas seperti minta izin masuk. Kemudian dikatakannya kepada yang lain bahwa
Mbah Parmin sudah memberi mereka izin untuk bertemu dengan Pak Sastro. (hal. 190)
Kutipan di atas
menjelaskan konsistensi pandangan dunia pengarang tentang kemampuan Bu Sastro
dalam berkomunkasi dengan dunia ghaib. Bagi Sapardi Djoko Damono yang juga
berlatar belakang priyayi, dunia priyayi tidak bisa dilepaskan dari dunia
klenik dan mistik dalam kepercayaan kosmologisnya. Kalangan priyayi meyakini
bahwa ada makhluk lain diluar makhluk dunia. Dan bahwasanya orang yang sudah
mati, mereka mengalami hidup kembali (reinkarnasi) di alam lain. Mereka masih
menjalin komunikasi denga manusia di dunia. Pengarang menggambarkan bagaimana
kemampuan Bu Sastro dalam berkomunikasi dengan Mbah Parmin selaku penguasa
makam dan meminta izin kepada beliau untuk diperbolehkan masuk dalam makam,
untuk berziarah ke makam suaminya Pak Sastro bersama anggota keluarganya.
C. Fakta
Kemanusiaan
Fakta kemanusiaan
dalam novel Suti dipahami sebagai tindakan manusia baik verbal maupun
fisik yang dipahami dalam perspektif
pengetahuan. Fakta kemanusian terbagi dua, fakta individu dan fakta sosial.
Fakta individu merupakan tindakan manusia yang bersifat libidinal seperti
mimpi, perilaku orang gila, dan sebagainya. Sedangkan fakta sosial merupakan fakta yang punya peranan
dalam sejarah dan mempunyai dampak dan hubungan sosial, ekonomi, politik antar
anggota masyarakat.
D. Fakta Sosial
Keluarga
Sastro segera di kenal di desa itu sebagai keluarga baik
baik sebab mengizinkan sumurnya ditimba para tetangganya. Orang orang suka
bingung memanggil laki laki setengah baya yang dibayangkan sebagai Prabu Kresna
oleh Suti itu. Kadang kadang di panggil” Den” kadang kadang “Pak”, keluarga itu
tidak peduli sama sekali sebab ketika di Ngadijayan pun mereka bergaul tidak
hanya dengan priyayi tapi dengan macam macam jenis orang. (hal. 30)
Ada dua fakta sosial yang bisa dipahami dari kutipan
diatas yaitu sosok keluarga Pak Sastro sebagai sebuah fakta sosial yang dikenal
sebagai keluarga baik baik oleh masyarakat setempat. Keluarga Pak Sastro
membolehkan sumur miliknya di pakai oleh masyarakat umum sekitar rumahnya. Hal
ini merupakan sesuatu yang baru bagi warga Desa Tungkal, yang dilakukan Keluarga
Priyayi yang baru pindah dari kota. Sosok priyayi masih memiliki strata kelas
sosial tinggi di mata warga Desa Tungkal. Mereka dianggap memiliki kedudukan
sosial tinggi karena keluarga Priyayi dianggap memiliki kedekatan dengan
kehidupan kraton yang berarti dekat dengan pusat kekuasaan. Sementara warga
Desa Tungkal adalah masyarakat kalangan kelas bawah yang identik dengan rakyat
biasa, rakyat jelata, kemiskinan dan tidak memiliki akses terhadap sumber
ekonomi dan kekuasaan.
E. Kelas
Sosial
Kelas sosial dalam Novel Suti terbagi menjadi dua struktur kelas sosial yaitu
kelas sosial borjuis yang diwakili oleh kalangan kaum priyayi dalam hal ini
keluarga Pak Sastro, dan kelas sosial kaum buruh yang diwakili oleh Suti,
Tomblok, Parni dan Sarno. Mereka adalah kelas sosial kaum proletar (miskin).
Dalam pandangan pengarang, kelas sosial tidak harus diposisikan saling
berhadapan (vis a vis) sebagaimana dalam pandangan Karl Marx. Kelas sosial
antara priyayi dan kaum buruh miskin, dalam pandangan seorang Sapardi Djoko
Damono bisa dilakukan saling bersinergi dan berkolaborasi.
Implikasi
Perubahan Sosial Novel Suti terhadap Pembelajaran Apresiasi Sastra di SMA
Mengacu
kepada Kurikulum 2013 revisi 2016, maka pembelajaran bahasa Indonesia dan
sastra, dengan kompetensi menganalisis isi teks isi novel baik lisan maupun
tulisan. Adapun model pembelajarannya adalah:
1.
Mengamati
a.
Siswa membaca teks tentang struktur dan
kaidah teks novel.
b.
Siswa mencermati uraian tentang struktur
dan kaidah teks novel.
2. Mempertanyakan
Siswa melakukan tanya jawab tentang
hal hal yang berhubungan dengan isi teks
3. Cara
Penilaian
a.
Siswa berdiskusi untuk memahami
perbedaan dan persaman dua buah teks novel yang dibaca
b.
Siswa diminta memproduksi teks novel
yang memilii koherensi dengan karakteristik teks baik lisan maupun tulisan
4. Observasi
Guru melakukan pengamatan terhadap
siswa dalam pengumpulan data, analisa data dan penyusunan laporan
5. Test
Tertulis
Guru memberikan tes tertulis kepada
siswa untuk mengetahui kemampuannya dalam memahami, menerapkan, dan memproduksi
teks novel yang memiliki koherensi sesuai karakter teks baik lisan maupun
tulisan
Analisis data
memperlihatkan bagaimana perjuangan Suti, seorang perempuan desa yang miskin
untuk mengangkat derajat hidupnya dengan mengabdi sebagai buruh pada sebuah
keluarga priyayi yang bernama Pak Sastro. Sebelumnya lingkungan pergaulan Suti
adalah para lelaki berandalan yang banyak bersentuhan dengan minuman keras.
Meski hidup dan tinggal dilingkungan sosial masyarakat yang keras, Suti tetap
masih punya prinsip hidup, tegar dalam pendirian, dan mampu menjaga integritas
dan kualitas pribadinya termasuk di dalamnya
masalah akhlak, moralitas dan susila.
PENUTUP
Simpulan
Berdasarkan hasil
temuan penelitian tentang perubahan sosial masyarakat Jawa pada Novel Suti
dalam perspektif struktural genetik dan aspek, maka ada beberapa temuan yang
bisa disimpulkan, yaitu:
1.
Pada aspek instrinsik, untuk penokohan,
setting, alur, dan sudut pandang penulis menggambarkan terjadinya proses
perubahan sosial baik level individu maupuan masyarakat.
2.
Proses perubahan sosial pada masyarakat
Jawa pada novel Suti terjadi pada dua tingkatan yaitu level individu
(sosok Suti) dan level masyarakat. Pada level Suti, perubahan sosial terjadi
ketika Suti yang berasal dari kalangan bawah dan keluarga miskin, mengalami
proses transformasi ketika masuk dan tinggal bersama keluarga Priyayi.
Sedangkan perubahan sosial pada tingkat masyarakat, pengenalan budaya sumur
dalam aktifitas sosial keseharian, yang terjadi berkat penggunaan fasilitas
sumur pribadi miliki keluarga priyayi Pak Sastro untukk fasilitas umum
masyarakat sekitar.
3.
Dalam persepektif struktural genetik
dillihat dari apsek subyektif kolektif, fakta kemanusiaan, pandangan dunia, dan
kelas sosial menjelaskan bahwa perubahan sosial dalam Novel Suti
memiliki keterkaitan satu sama lain.
Saran
Berdasarkan hasil
kesimpulan dan implikasi dari penelitian tentang perubahan sosial dalam novel Suti
dengan perspektif struktukral genetik, maka ada beberapa saran yang bisa
diberikan untuk melengkapi hasil penelitian ini ke depannya, yaitu:
1. Perlunya
ada penelitian lanjutan terhadap Novel Suti ini yang melihat dari sisi
lainnya, tidak hanya dari satu sisi perubahan sosial semata. Hal ini sangat
penting karena perubahan sosial yang dijelaskan oleh pengarang novel Suti yaitu Sapardi
Djoko Damono masih bersifat awal kehidupan masyarakat.
2. Novel
Suti ini dapat dimanfaatkan sebagai salah satu rujukan karya sastra bagi materi
apresiasi sastra, khususnya tentang sosiologi sastra..
Daftar
Pustaka
Damono, Sapardi Djoko. Suti. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2015.
Kleden, Ignas. Sastra Indonesia dalam Enam
Pertanyaan. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2004.
Kosasih, Dr. E. Dasar-dasar Keterampilan Bersastra. Bandung: CV Yrama Widya, 2012.
Krispendoff, Klaus. Analisis Isi Pengantar dan Teori Metodologi. Jakarta: Rajawali
Press, 1993.
Miles, Mattew B dan A. Michael Huberman. Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber
Tentang Metode-Metode Baru. Jakarta: UI Press, 1992.
Nurgiantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi (Edisi Revisi). Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 2013.
Permana, Ruswendi. Aspek Sosiologi dalam Karya Ajip Rosidi. Bandung: Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). 2014.
Ratna, Prof. Dr. Nyoman Kutha. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012.
Sitepu, Gustaf. Strukturalisme Genetik Asmaraloka. Medan: Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara (USU). 2009.
Soerjono, Soekanto. Sosiologi
Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1990.
Yudiono. Telaah Kritik Sastra. Bandung:
Angkasa, 1986.
Faruk. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2014.
Godmann, Lucien. Cultural Creation in Modern Society. London:
Great Britain Maxwell, 1977.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar