Kamis, 18 Januari 2018

Kupasan tentang Novel Suti dari segi Sosiologi Sastra






PERUBAHAN SOSIAL MASYARAKAT JAWA
DALAM  NOVEL SUTI 

Oleh: FAWZIAH


Abstrak
Studi ini mengkaji Novel Suti karya Sapardi Djoko Damono terkait perubahan sosial pada masyarakat jawa, dengan pendekatan teori Struktural Genetik. Metode pengumpulan data menggunakan analisis teks dan analisis struktur karya sastra dari aspek instrinsik yaitu penokohan, setting, alur dan sudut pandang. Sedangkan analisis teks dari pendekatan struktkural genetik, melihat perubahan sosial dari aspek pandangan dunia, fakta kemanusiaan, kelas sosial dan subyektif kolektif. Tujuannya untuk mengetahui bagaimana proses perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat Jawa dalam sebuah karya sastra. Hasil penelitian menjelaskan bahwa proses perubahan sosial pada masyarakat Jawa yang terdapat pada novel Suti ini terjadi secara evolutif dan damai. Tidak ada gejolak maupun konflik sosial yang terjadi di masyarakat selama proses perubahan sosial itu terjadi. Hal ini karena kultur masyarakat di desa tersebut yang bersifat terbuka terhadap pendatang, toleran dan egaliter masyarakatnya sehingga bisa menerima proses perubahan yang terjadi. Implikasi hasil kajian ini terhadap implmentasi pembelajaran Sastra di SMA /MA menegaskan pentingnya siswa memiliki kerangka pikir dan ilmu pendukung lain dalam memahami sebuah karya sastra dari sisi aspek sejarah, sosiologi dan antropologi, sehingga bisa memahami dan memaknai pesan sebuah karya sastra secara lebih tepat
 Kata Kunci: Novel, Sosiologi Sastra, Struktural Genetik


Abstrac
This study examines Sapardi Djoko Damono's Novel Suti related to social change in Java society, with the approach of Genetic Structural theory. Methods of data collection using text analysis and structural analysis of literary works of intrinsic aspects of characterizations, settings, plot and point of view. While the text analysis of the genetic structuring approach, looking at social changes from aspects of the world view, the facts of humanity, social class and collective subjective. The goal is to find out how the process of social change that occurs in the Java community in a literary work. The result of the research explains that the process of social change in Javanese society in Suti novel happened evolutively and peacefully. No social upheaval or conflicts have occurred in the community during the process of social change. This is because the community culture in the village that is open to the immigrants, tolerant and egalitarian community so that it can accept the process of change that occurred. The implications of this study on the imple- mentation of Literature learning in high school emphasize the importance of students having a frame of mind and other supporting sciences in understanding a literary work from the aspect of history, sociology and anthropology, so as to understand and interpret the message of a literary work more precisely
Keywords: Novel, Sociology of Literature, Genetic Structural



PENDAHULUAN
Sebuah karya sastra tidak semata sebagai hasil imajinasi fiktif yang terlepas dari sebuah rasa kemanusiaan dan kenyataan sosial. Rasa kemanusiaan dalam karya sastra mampu menerobos sekat-sekat perbedaan budaya. Sastra bisa menjadi senjata kemanusiaan untuk memangkas batas-batas yang memisahkan manusia. Akan tetapi, tidak berarti menyatakan bahwa semua manusia sama rata sama rasa. Sastra hanya mengingatkan manusia tidak mungkin hidup tanpa keberadaan manusia yang lainnya. Bisa jadi manusia memiliki nasib yang sama, akan tetapi dengan perjuangan, kegigihan, dan keberuntungan nasib yang kemudian menjadikan mereka berbeda. Menurut Ignas Kleden (2004: 47) dalam bukunya Karya Sastra dalam Enam Pertanyaan, bahwa analisis karya sastra juga mengungkapkan kondisi riel yang terjadi di masyarakat.
Sastra juga mempunyai fungsi sosial atau manfaat yang tidak sepenuhnya bersifat pribadi. Jadi, permasalahan dalam sebuah karya sastra juga menyiratkan sebuah permasalahan sosial yang terjadi di lingkungan masyarakat seperti masalah tradisi, konvensi, norma, genre, simbol, dan mitos. Sastra juga dikaitkan dengan kondisi politik, ekonomi dan sosial tertentu. Penelitian sastra dilakukan untuk menjabarkan pengaruh masyarakat terhadap sastra dan kedudukannya dalam masyarakat. Pada aliran Marxisme, kritik sastra dilakukan untuk memberikan sebuah penilaian dan menghakimi yang didasarkan pada kriteria politik dan etika non sastra. Aliran Marxisme tidak hanya menunjukkan kaitan dan dampak karya sastra, tapi juga mendikte kaitan dan dampak yang seharusnya ada.
Novel Suti karya Sapardi Djoko Damono, diakui oleh penulisnya sebagai novel tentang perubahan sosial pada sebuah masyarakat Jawa. Ada tiga alasan mengapa novel ini layak untuk dikaji, yaitu: pertama, Novel Suti menceritakan dua kehidupan social yang berbeda, yaitu sosok Suti yang mewakili kalangan miskin dan keluarga Sastro yang mewakili kalangan priyayi. Kedua sosok bergulat dan berjuang untuk mempertahankan sebuah kehidupan di tengah situasi perubahan sosial masyarakat dengan setting sosial konflik politik pra dan pascaperistiwa 1965. Kedua, Novel Suti memberikan inspirasi dan spirit positif tentang sebuah cita-cita harus diperjuangkan secara sungguh-sungguh, dan bekerja keras dalam mencapai cita-citanya tanpa harus peduli apa kata masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Ketiga, Novel Suti merupakan karya perdana Sapardi Djoko Damono dalam menulis novel karena sebelumnya ia fokus pada penulisan puisi.
Perubahan Sosial dalam Novel Suti yang ditulis oleh Sapardi Djoko Damono ini dikaji dengan menggunakan pendekatan teoritik struktural genetik dari Lucien Goldmann. Dengan pendekatan struktural genetik, akan dapat diketahui bagaimana seorang Sapardi Djoko Damono menjelaskan perubahan sosial dalam novelnya.
Ada tiga tujuan kajian ini, yaitu (i) untuk mengetahui dan menjelaskan aspek instrinsik, yaitu tokoh, tema, settting, alur, dan sudut pandang penulis dalam proses perubahan sosial yang terjadi di masyarakat Jawa melalui karya Novel Suti. (ii) untuk mengetahui bagaimana proses perubahan sosial di masyarakat Jawa dalam pendekatan teori structural genetik pada aspek fakta kemanusiaan, subyektif kolektif atau trans individual, pandangan dunia, dan kelas sosial, dan (iii) menjelaskan implikasi implementasi kajian perubahan sosial dalam masyarakat Jawa terhadap Pembelajaran apresiasi sastra Indonesia di SMA/MA.
Di antara kajian novel yang relevan dengan pendekatan teori strukturalisme genetik adalah penelitian Ruswendi Permana tentang Aspek Sosiologi Sastra dalam karya Ajip Rosidi. Ruswendi menganalisis karya karya Ajip Rosidi dengan teori strukturalisme genetik. Ada tiga pendekatan sosiologis dalam melihat karya Ajip Rosidi yaitu sosiologi mimetis, sosiologi ekspresif, dan sosiologi represif.
Penelitian kajian sastra dengan pendekatan struktural genetik juga dilakukan oleh Gustaf Sitepu dalam menganalisis Novel Asmaraloka karya Danarto. Fokus utama yang diteliti oleh penulis adalah proses mental dalam novel Asmaraloka, latar belakang sosial dari penulisan novel Asmaraloka, serta pandangan penulis terhadap masyarakat Indonesia sebagaimana terdapat pada novel Asmaraloka.
Adapun kajian teoritik yang akan penulis gunakan sebagai  berikut.
1.        Perubahan Sosial
Kingsley Davis mengartikan perubahan sosial sebagai perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi masyarakat. Sedangkan Mac Iver membedakan aspek perubahan sosial antara utilitarian elements dengan culture elements yang didasarkan pada kepentingan-kepentingan manusia yang primer dan sekunder. Semua kegiatan dan ciptaan manusia dapat diklasifikasikan ke dalam kedua kategori tersebut (dalam Soerjono, 1990: 301). Artinya, semua mekanisme dan organisasi yang dibuat manusia dalam upaya menguasai kondisi kehidupannya, termasuk di dalamnya sistem-sistem organisasi sosial, teknik, dan alat-alat material.
2.        Struktural Genetik
Teori ini ditemukan oleh Lucien Goldmann. Teori ini merupakan analisis struktur yang memberikan perhatian terhadap asal usul karya sehingga mencakup kajian unsur intrinsik dan ekstrinsik yang menyatakan pentingnya strukturalisme genetik karena merupakan langkah pertama dalam sosiologi sastra yang mengarah pada usaha memperlakukan sastra secara lebih proporsional. Dalam buku Pour une Sociologie du Roman, Goldmann seperti dikutip Nyoman Kutha Ratna (2012: 121) menyatakan bahwa strukturalisme genetik menghadirkan kembali perubahan orientasi secara total, hipĆ³tesis dasar yang lebih jelas daripada karakter kolektif hasil kreasi karya sastra mengingat bahwa struktur dunia sastra tersebut homologi dari struktur mental dari kelompok sosial tertentu atau hubungan dengan keduanya dapat dipahami, sedangkan pada struktur ini dapat dikatakan berasal dari penciptaan dunia imajinasi yang ditentukan oleh strukturnya, dan penulis memiliki kebebasan secara total.
METODE PENELITIAN
Kajian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dalam mendeskripsikan aspek perubahan sosial, yaitu analisis isi (content analysis) pada Novel Suti karya Sapardi Djoko Damono, dengan pendekatan struktural genetik. Metode penelitian analisis isi (content analysis) merupakan salah satu metode dalam ilmu sosial yang digunakan untuk mempelajari dan mengungkapkan arti yang lebih dalam serta proses-proses dinamis di belakang komponen isi suatu karya sastra atau naskah tertentu.
Data dalam penelitian ini mencakup unsur intrinsik dalam Novel Suti yang berhubungan dengan tokoh, tema, alur, setting dan sudut pandang pengarang yang terdapat dalam Nove Suti. Sedangkan data yang berkaitan dengan unsur ekstrinsik terkait dengan perubahan sosial dalam pandangan teori struktural genetik. Sumber data diperoleh melalui kalimat, pernyataan, dan paragraf yang menggambarkan aspek perubahan sosial ayang terdapat dalam novel Suti.
Teknik analisis data yang akan digunakan dalam penelitian ini menggunakan analisis mengalir (flow model of analysis), yang dikembangkan oleh Mattew dan Huberman (1992: 18), terdiri dari empat komponen sebagai berikut.
1.      Pengumpulan Data
2.      Reduksi Data
3.      Sajian Data
4.      Penarikan Kesimpulan

HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Instrinsik Novel Suti Menurut Teori Strukturalisme Genetik

A.    Tokoh
1.      Suti
Suti selain menjadi judul novel sekaligus juga tokoh sentral dalam cerita. Sapardi Djoko Damono di awal cerita menggambarkan Suti sebagai sosok anak yatim dari seorang keluarga janda. Ibu Suti sering kawin cerai. Suti memiliki nama lengkap Sutini. Suti digambarkan sebagai sosok orang yang suka konyal kanyil (gak bisa diam, banyak gerak). Perilaku Suti ini oleh orang di sekitarnya dianggap sesuatu yang wajar, meskipun tidak harus seperti itu. Berikut kutipan novel yang menggambarkan sosok Suti:
Perempuan muda itu yatim, dan itu mungkin sebabnya orang desa cenderung menerima sebagai hal yang wajar sewajar wajarnya kalau ada berita aneh tentangnya. Meskipun mereka tentu juga tahu bawa orang yatim tidak harus aneh tingkah lakunya. Suti, nama lengkapnya Sutini, masih di ujung belasan tahun umurnya. Dan sifatnya yang konyal kanyil bisa ditafsirkan macam macam. (hal. 5)

Meskipun Suti orang yang tidak bisa diam, banyak gerak, dan berasal dari lingkungan biologis yang tidak jelas, akan tetapi Suti merupakan sosok pekerja keras, ringan tangan (suka membantu), dan bekerja yang baik. Suti bekerja di keluarga tetangganya yang priyayi, yaitu keluarga Pak Sastro dan Bu Sastro. Suti juga digambarkan sebagai orang yang tidak sungkan untuk mengerjakan apapun yang diperintahkan, selagi luang maka akan langsung dikerjakan, tidak ada perdebatan atau diskusi soal pekerjaan yang diberikan. Suti digambarkan sebagai tokoh pekerja keras di tengah lingkungan kemiskinan yang menderanya. Berikut kutipan tentang sosok Suti sebagai pekerja keras.
Perempuan muda konyal kanyil yang pernah diceritakan sedang mencuci pakaian di sungai itu akhirnya bekerja membantu meringankan pekerjaan bu Sastro. Pak sastro suka pelayannya karena tidak banya cing cong hanya sesekali menengak ciu. (hal. 36)
2.      Parni  (ibu Suti)
Parni adalah ibu Suti, yang digambarkan sebagai sosok perempuan yang memiliki pekerjaan tidak jelas. Sebagai seorang janda yang memiliki anak satu, Parni dituntut untuk bekerja serabutan. Apapun yang bisa dikerjakan dan menghasilkan uang, akan dikerjakanya. Sapardi Djoko Damono menggambarkan Parni sebagai sosok yang mudah bergaul dengan banyak orang. Hal ini dibuktikan ketika Parni harus berangkat ke kota untuk bekerja, dan menitipkan Suti ke tetangganya, hampir semua tetanggannya tidak ada yang menolak dititipi Suti. Salah satu alasannya karena Parni selalu membawa oleh-oleh ketika pulang kerja untuk tetangga yang mau menjaga anaknya sepanjang hari.
Kadang kadang kalau ibunya ke kota, ia (Suti) dititipkan saja ke salah seorang tetangga yang dengan senang hati menjaganya seharian. Parni selalu membawa oleh oleh untuk tetangga itu sepulang kerja. (hal. 11)

3.      Pak Sastro
Pak Sastro berasal dari keluarga priyayi. Orang tuanya dulu pernah bekerja sebagai pegawai lurah keraton (abdi dalem) di Kasunanan. Mereka tinggal di Ngadijayan, sebuah wilayah yang masih berada dan dekat dengan lingkungan keraton. Pak Sastro nama aslinya Sumardi, dan ketika dewasa ditambahkan nama priyayinya sehingga menjadi Sastrosumardi. Pak Sastro menikah dengan bu Sastro karena kedekatan kedua orang tua mereka yang sama sama kerja di keraton Kasunanan.
Pak Sastro merupakan sosok tokoh yang ganteng dan enak diajak bicara. Sapardi Djoko Damono menggambarkan tokoh Pak Sastro sebagai lelaki flamboyan yang suka main wanita di luar. Sebagai sosok priyayi yang ganteng dan punya pekerjaan tetap, ia banyak digandrungi wanita saat itu. Tidak hanya oleh kalangan perempuan baik yang sudah beristri ataupun gadis, tapi juga oleh kalangan calo-calo perempuan.
Memang sudah lama ada calo yang suka menawarkan perempuan di desa desa sekitar Tungkal, umumnya malah yang punya suami. Ada yang suaminya memang masuk jaringan calo, ada juga yang sama sekali tidak tahu menahu tentang percaloan itu. Kawin – cerai- kawin lagi- cerai lagi bukan masalah besar di situ. Mungkin itu sebabnya ada saja suami yang merelakan istrinya di kelola calo. ……… Pak Sastro oke tampangnya, ditambah anggapan orang dia seorang priyayi. Lelaki beginian yang diincar tidak hanya oleh perempuan yang masih punya suami, tapi juga, dan terutama para calo. (hal. 85)

Kebiasaan Pak Sastro yang suka main dengan wanita di luar, didukung oleh kebiasaan masyarakat setempat dimana budaya kawin cerai adalah sesuatu yang biasa. Di daerah itu sudah lama ada budaya calo perempuan, yaitu seorang laki laki yang menawarkan perempuan-perempuan kepada laki-laki lain untuk ditiduri atau menjalin hubungan sesaat, tentu dengan imbalan materi. Para laki-laki yang punya kebiasaan main judi, mabuk, dan tidak punya pekerjaan tetap, terkadang juga merelakan istrinya dijual calo pada laki-laki lain.
4.      Bu Sastro
Bu Sastro adalah anak keluarga priyayi abdi dalem yang bekerja sebagai lurah di keraton Kasunanan. Pengarang tidak menjelaskan siapa nama aslinya. Orang hanya menyebut dengan nama panggilannya, yaitu Minul. Meski terlahir dari seorang keluarga priyayi, bu Sastro termasuk priyayi yang sangat moderat. Pandangan hidupnya tidak pernah melihat seseorang dari persoalan kasta, golongan, kelas atau silsilah dan harta kekayaan. Hal ini berbeda dengan pandangan para kaum priyayi pada umumnya yang rata-rata masih memegang teguh persoalan identitas budaya priyayi yang akrab melihat orang lain dari sisi garis keturunan, silsilah usul, atau kekayaan. Atau melihat bibit, bobot, dan bebet dalam mencari pasangannya.
Dibandingkan keluarga Pak Sastro suaminya, sebenarnya darah priyayi Bu Sastro lebih kuat karena ia memiliki hubungan langsung keluarga keraton, yaitu masih cucu garwo ampil pangeran. Sementara keluarga suaminya dulu orang tuanya hanya pekerja keraton yang kebetulan memiliki kemampuan menata wayang sehingga diangkat menjadi lurah. Jadi, seharusnya justru yang lebih kuat mempertahankan tradisi dan kultur priyayi adalah Bu Sastro ketimbang Pak Sastro.
Sikap moderat bu Sastro diperlihatkan ketika ia membiarkan anaknya Kunto menjalin hubungan dengan Suti, seorang yang berasal dari keluarga miskin dan bukan keturunan priyayi. Sikap Bu Sastro justru banyak ditentang oleh keluarga Pak Sastro yang lebih melihat seseorang dari bibit, bobot, dan bebet (garis keturunan, silsilah, dan kekayaan).
“Apa sih bibit?  Apa pula bobot dan bebet di zaman sekarang ini mbakyu?” demikian jawabnya ketika bu Mantri, ipar pak Sastro mengingatkannya tentang hubungan mereka. (hal. 116)
                       
Sikap egaliter bu Sastro diperlihatkan ketika ia menganggap Suti sudah menjadi bagian anggota keluarganya. Bu Sastro tidak menganggap Suti sebagai orang lain. Bahkan dalam keseharian, Bu Sastro seakan tidak pernah menganggap Suti sebagai pembantu, tapi seolah sudah menjadi anaknya sendiri. Perhatikan bagaimana Bu Sastro memperlakukan Suti seperti dalam kutipan di bawah ini.
“Cah Ayu, kakakmu Kunto mau sekolah di Gajah Mada,” kata Bu Sastro kepada Suti. Panggilan cah ayu kepada Suti lama kelamaan terdengar biasa saja ditelinganya, meskipun sama sekali tidak membuatnya berubah menjadi priyayi. (hal. 60)
…………
“Suti, kamu anak cantik gak suka ribu ribut. Kami sayang padamu, kamu tahu, kan?”(hal. 49)

Sosok Bu Sastro dalam gambaran Sapardi Djoko Damono adalah tipe ideal perempuan priyayi Jawa, yaitu sabar, menerima apa adanya, bisa menerima realitas, mengerti perasaan orang lain. Bu Sastro memiliki sifat tidak suka ngarasani atau membicarakan aib orang lain. Karena bu Sastro juga tidak suka kalau dirinya atau suaminya menjadi bahan gunjingan orang lain. Hubungan Bu Sastro dan Pak Sastro sudah tidak hangat dan mesra lagi semenjak kedua anaknya mulai tumbuh besar dan pak Sastro sering berpindah-pindah kerja ke kota lain.  
5.      Tomblok (Pariyem)
Tokoh Tomblok dalam novel ini digambarkan sebagai teman dekat Suti. Tomblok adalah personifikasi sosok orang sering diajak ngobrol, atau curhat sama Suti. Pada bagian awal cerita, Tomblok sebagai teman Suti saat mencuci pakaian di pinggir sungai. Dalam budaya masyarakat pinggiran, sungai bukan semata untuk  tempat mencuci pakaian, tapi juga tempat untuk berbagi berbagai cerita, kabar, gosip tentang apa saja, termasuk urusan lingkungan, tetangga, keluarga, dan lainnya. Sapardi Djoko Damono menggambarkan secara jelas budaya masyarakat pinggiran dengan sungai sebagai salah satu pusat aktifitas keseharian.
Sungai adalah salah satu bagian penting kehidupan di kakmpung itu, bukan hanya sebagai tempat cuci, tapi juga pusat penyebaran cerita burung. (hal. 4)

Sapardi Djoko Damono menggambarkan tokoh Tomblok sebagai sosok perempuan penyebar cerita burung karena banyak mengetahui rumor, gosip, kabar burung yang ada di masyarakat. Bahkan terhadap isu mengenai keluarga Pak Sastro Tomblok lebih banyak tahu ketimbang Suti. Tomblok lah yang banyak membisikkan siaran burung gagak kepada Suti. “Kamu memang keterlaluan Sut, tidak pernah tahu apa apa tentang majikanmu,”  kata Tomblok. (hal. 83)

6.      Kunto
Kunto dan Dewo dalam novel ini berperan sebagai anak dari keluarga Pak Sastro. Kunto merupakan anak sulung (pertama) dan Dewo anak bungsu (kedua). Kunto digambarkan sebagai pemuda dengan karakter dan sosok yang tenang pembawaannya, kalem, emosinya sangat terkontrol dan lebih berpendidikan. Sedangkan, Dewo digambarkan sebagai pemuda yang karakternya lebih kasar karena banyak bergaul dengan anak-anak jalanan diluaran, suka nongkrong, pemberani, gaya berandalan, sering bertengkar, tapi tidak suka minum ciu, suka mencuri tebu, suka menjerat anjing liar untuk dijual ke tukang sate.
Kunto juga digambarkan oleh pengarang sebagai sosok yang penurut, anak sekolahan, kutu buku, pintar, sehingga di sayang banyak guru. Kunto orangnya tidak mudah terbawa emosi seperti adiknya Dewo. Ketika terjadi pertengkaran antara Dewo dan Pak Sastro, Kunto mampu bersikap netral, menjaga jarak dan tidak larut di antara keduanya.
……. Kunto tak pernah mau turut campur, tidak karena mau bersikap hati-hati karena ia malah bisa menjadi korban ketegasan sikap ayah dan adiknya. Tidak pernah ada niat dan nyali untuk ikut-ikutan membanting gelas. Tidak pernah ada. (hal. 44-45)

Dalam cerita novel Suti ini, sosok Kunto digambarkan sebagai salah seorang yang mencintai Suti, meski dengan bahasa yang tidak langsung. Sapardi Djoko Damono menggambarkan kedekatan Kunto dengan Suti bahkan menganggap Suti sebagai adik kandungnya.
“Suti ini apamu, Kun?”
“Adikku,” jawab Kunto lebih enteng lagi.
Tanpa menunjukkan rasa kaget, Kuswanto melanjutkan selidiknya.
“Adikmu kan cuma si Semprul itu!” Semprul adalah nama populer Dewo di kampungnya yang lama.
“Ya biar saja, pokoknya ini adaikku. Ya kan Sut?”(hal. 54)

7.      Dewo
Tokoh Dewo dalam cerita ini tidak memiliki peran utama, melainkan hanya sebagai pelengkap dalam kehidupan keluarga Bu Sastro. Sosok Dewo sebagai anak kedua keluarga Bu Sastro digambarkan memiliki karakter  yang berbeda dengan kakaknya, Kunto. Kalau Kunto dikenal sebagai anak yang rajin sekolah, pintar, suka baca, tidak banyak bergaul dengan anak-anak di luar, kurang dekat dengan perempuan, maka tidak demikian dengan Dewo. Dewo adalah sosok antitesa dari Kunto. Dewo digambarkan sebagai tokoh yang memiliki karakter keras, suka bergaul dengan anak anak jalanan, suka tawuran, tapi tidak suka minum ciu. Dewo memiliki kebiasaan menjerat anjing liar milik tetangga yang berkeliaran di kampung, kemudian di jual ke tukang sate.
Dalam hubungan antara Dewo dengan Bapaknya, tokoh Dewo digambarkan sebagai orang yang banyak tahu rahasia bapaknya diluar. Dewo tahu apa dan bagaimana kelakuan bapaknya diluar rumah termasuk dalam urusan soal perempuan. Oleh sebab itu, bapaknya juga mengerti kalau nasehatnya selama ini tidak selalu didengar dan diperhatikan oleh Dewo. Pak Satro lebih memilih diam menghadapi sikap Dewo 

Anak laki laki itu tahu sebenarnya sepak terjang ayahnya selama ini, terutama setelah pindah dari kota. Ayahnya juga tahu bahwa anaknya juga tahu. Itu sebabnya kalau nasihatnya tidak digubris, Sastro memilih diam. Pernah kemarahan kepada bontotnya itu malah menyulut kemarahan yang lebih hebat kepada Dewo. (hal. 106-107)

8.      Enih
Sosok tokoh Enih dalam novel Suti hanya muncul sesaat, yaitu ketika menemani pak Sastro pada saat tinggal di Jakarta karena pindah tugas. Tidak jelas asal usul tokoh Enih ini. Pengarang hanya menyebutkan bahwa Enih pada awalnya adalah penjaga kantin. Tidak disebutkan apakah di kantin kantor Pak Sastro atau di tempat lain. Enih di minta pak Sastro untuk menemaninya membantu urusan rumah pak Sastro, seperti menyiapkan makanan, membersihkan rumah, belanja kebutuhan rumah tanggal dan lainnya.
Sosok Enih bahkan digambarkan agak istimewa oleh pengarang, karena memposisikan Enih tidak sekedar menjadi pembantu, tapi juga sekaligus teman bagi pak Sastro untuk mengusir rasa sepinya. Hal ini dijelaskan oleh pengarang ketika Pak Sastro ternyata juga sering mengajak Enih menonton film.
“Bapak sekali kali mengajak saya nonton juga lho mbak,” katanya.
“Bapak sukanya film apa?” tanya Kunto.
“Perang,” Pak Sastro menjawab.
“Bohong, hehehe” kata Enih, “saya suka diajak bapak nonton film yang banyak roman-romannya itu lho, Mas.”(hal.142)
             
Berdasarkan deskripsi beberapa tokoh di atas, Sapardi Djoko Damono tampaknya ingin menjelaskan bahwa tokoh tokoh dalam Novel Suti termasuk dalam kategori tokoh yang sangat sederhana karakternya (simple character) bukan tokoh rumit. Tokoh sederhana adalah tokoh yang hanya memiliki satu kualitas pribadi tertentu. Tokoh seperti Suti sebagai tokoh protagonis, merupakan tokoh utama dalam novel ini digambarkan sebagai tokoh yang memiliki satu kualitas pribadi tertentu, yaitu memiliki sifat atau karakter yang sangat mudah bergaul dengan siapa saja, tapi tetap bisa menjaga diri, mudah menyesuaikan dengan lingkungan sekitar.
Demikian juga dengan tokoh Kunto sebagai anak pertama keluarga Pak Sastro, digambarkan sebagai sosok kutu buku, terpelajar, tapi kurang gaul dan tidak dekat dengan sosok perempuan. Keberadaan Suti yang diharapkan oleh Bu Sastro agar Kunto punya ketertarikan dengan perempuan.
Sosok tokoh yang memiliki dua karakter berbeda tetapi masih dalam kategori positif dan tidak mengganggu cerita, yaitu sosok tokoh Bu Sastro dan Pak Sastro. Dalam deskripsi di atas, sosok Bu Sastro digambarkan sebagai perempuan sekaligus istri yang baik bagi suaminya Pak Sastro, sekaligus ibu yang bijak dan penuh kasih sayang terhadap anak anaknya. Akan tetapi, Sapardi Djoko Damono juga menggambarkan tokoh Bu Sastro sebagai perempuan yang tegas ketika berhadapan dengan orang lain yang dianggap bisa merusak harga diri dan kehormatan keluarganya, seperti ketika ia membela Dewo pada kasus kematian anjing ibu Mayor.
Adapun Pak Sastro juga memiliki dua karakter yang berbeda ketika di dalam rumah dan di luar rumah. Di dalam rumah, sosok Pak Sastro digambarkan sebagai suami yang baik bagi Bu Sastro, dan bapak bagi kedua anaknya, yaitu Kunto dan Dewo. Di luar rumah, sosok Pak Sastro digambarkan sebagai laki laki playboy yang suka main perempuan lain yan bahkan sudah bersuami. Pak Sastro juga digambarkan memiliki rasa suka terhadap Suti, perempuan yang membantu di lingkungan keluarganya. Pak Sastro juga suka kepada Enih, perempuan lain yang selama ini membantunya selama ia tinggal sendirian di Jakarta, karena urusan pekerjaan kantor.


B.     Tema
Novel Suti ini mengangkat tema perubahan sosial masyarakat Solo dari kalangan bawah, masyarakat miskin yang diwakili oleh tokoh Suti, dan kehidupan keluarga priyayi mantan abdi dalem keraton Surakarta, yang pindah ke daerah pinggiran di Desa Tungkal yang diwakili oleh Pak Sastro dan Bu Satro. Sapardi Djoko Damono mengakui bahwa Novel Suti ini bertemakan perubahan sosial masyarakat dari pra modern menuju era modern. Perubahan sosial terjadi dan bergerak dari sebuah kampung pinggir kota (Desa Tungkal) menuju tengah kota (Solo, Jakarta, Bandung).

C.    Alur
Alur atau plot dalam novel Suti bersifat lurus dan progresif, yaitu ada kemajuan dalam proses penceritaannya. Alur ini dibagi menjadi tiga tahapan, yaitu tahap awal berupa pengenalan tokoh tokohnya, lalu tahap kedua dimana mulai masuk ketengah muncul konflik konflik di antara tokoh tokohnya, dan ketiga diakhiri dengan penyelesaian, yaitu dimana tokoh tokoh  yang saling berkonflik tadi mulai menemukan mekanisme penyelesaian.
 








Gambar 3:  Alur dalam Novel Suti

D.    Setting
Ada tiga setting yang menjadi aspek intrinsik dalam novel ini yaitu setting tempat, setting waktu dan setting sosial budaya. Untuk setting tempat, ada beberapa lokasi kejadian  sebagai bagian dalam cerita novel Suti. Yang paling utama adalah Desa Tungkal, sebuah desa pinggiran Kota Solo. Desa Tungkal ini menjadi setting tempat yang utama dalam novel Suti. Pengarang menyebut Desa Tungkal sebagai panggung dongeng yang akan diceritakan dalam novelnya
Panggung dongeng ini adalah sebuah kampung di pinggiran kota Solo, tepatnya di Desa Tungkal. Waktu itu tahun 1960-an, desa tersebut (kampung?) mulai kedatangan orang orang yang berasal dari pusat kota, harga tanah sangat murah sebab belum tersentuh oleh rencana pembangunan (hal.14).

Setting tempat kedua adalah Jakarta. Jakarta dalam novel ini menjadi setting tempat kerja salah satu pelaku utama, yaitu Pak Sastro ketika pindah kerja ke Jakarta sebagai bagian dari tugas kantornya. Pengarang tidak menyebutkan secara spesifik di mana lokasi tinggal Pak Sastro di Kota Jakarta. Akan tetapi, kalau dibaca dalam novel ini serta memperhatikan beberapa dialog di dalamnya, khususnya ketika seorang perempuan bernama Enih bercerita kalau dia selama menemani Pak Sastro pernah di ajak jalan-jalan ke Mayestik, sebuah lokasi dekat Blok M, serta kalau melihat tempat kerja Pak Sastro yang di dinas jawatan PU (Pekerjaan Umum), dan sebagaimana kita ketahui bahwa kantor pusat Kementerian PU ada di daerah Kebayoran Baru atau dekat dengan Blok M.
“Kadang-kadang Bapak mengajak saya ke Pasar Mayestik juga, Mbak. Beliau suka sekali jus alpukat. Katanya di Solo gak ada, benar ya Mbak? Hehehehe masak gak ada (hal 139).

Setting tempat ketiga adalah Yogyakarta dan Bandung. Tidak banyak yang bisa diceritakan dalam novel ini terkait setting kota Yogyakarta dan Bandung karena dia tidak menjadi bagian inti dari fokus cerita, akan tetapi hanya sebatas perlintasan, yang muncul sekilas. Penyebutan kota Yogyakarta hanya sesekali muncul terkait tempat kuliah Kunto yang akan melanjutkan ke UGM
“Gajah Mada itu di Yogya, Sut”
“ Oh saya kira ada Gajah Mada juga di Jakarta”
“Gajah Mada ya hanya ada di Yogya, Sut”
...............................
Kemudian Bu Sastro menjelaskan bahwa bulan Agustus nanti, anak sulungnya itu harus sudah berangkat ke Yogya, ia akan menemaninya. Ia minta Suti juga ikut supaya kalau Bu Sastro kembali ke Solo ada yang diajak ngobrol. (hal. 60-61)

Setting tempat yang ke empat, yaitu Surabaya. Kota Surabaya muncul pada bagian akhir cerita saat Kunto sedang mengadakan pesta pernikahannya dengan Sarah di Surabaya. Konteks kota Surabaya menjadi sedikit menarik karena di sini pembaca bisa mengetahui bagaimana pikiran dan perasaan Kunto yang ternyata tetap tidak bisa hilang dari sosok Suti, ketika pengarang menggambarkan bagaimana sosok Suti tiba-tiba muncul - dalam alam bayangan Kunto - pada acara pernikahan Kunto, meskipun itu hanya sebuah ilusi belaka.
Bu Sastro yakin telah mendapat restu dari almarhum suaminya untuk menyelenggarakan pesta kawin Kunto secepatnya di Surabaya. (hal. 27)
“Tadi saya lihat Suti di antara tamu, Bu,” bisiknya cepat cepat. (hal. 28)

Setting waktu kejadian sekitar tahun 1960-an. Era tahun 1960-an adalah era politik saat pertarungan dan konflik ideologi sangat kuat, khususnya antara kelompok komunis yang diwakili oleh PKI, dengan kelompok Islam (Masyumi, NU) dan juga kelompok nasionalis (PNI). Kota Solo sendiri secara peta geopolitik lebih banyak beraliran politik abangan yang secara ideologis dekat dengan komunis dan nasionalis, ketimbang kelompok Islamis.
Meski demikian, dalam penjelasan waktu tahun 1960-an, Sapardi Djoko Damono sama sekali tidak menyinggung situasi politik pada tahun tahun tersebut. Sapardi hanya sekilas menyinggung bahwa panggung drama novel ini terjadi pada tahun 1960-an. Pengarang berupaya untuk menarik batas, tidak masuk terlalu dalam menjelaskan persoalan politik sebagai setting cerita era 1960-an.
Pengarang hanya sekilas menjelaskan setting waktu dalam panggung dongeng Novel Suti ini. Setting waktu untuk Desa Tungkal dijelaskan oleh pengarang sebagai Desa….” Sebuah Desa ( atau Kampung?) yang mulai kedatangan orang orang yang berasal dari pusat kota, harga tanaah sangat murah sebab belum tersentuh oleh rencana pembangunan kota …” (hal 15). Dari penjelasan awal tentang Desa Tungkal, pengarang mulai membangun sebuah alur cerita novel Suti, menjelaskan awal mula terjadinya perubahan sosial di Desa Tungkal yang salah satu penyebabnya adalah terjadinya pertambahan penduduk Desa Tungkal akibat terjadinya migrasi penduduk dari pusat kota menuju pinggir kota yaitu di Desa Tungkal.
Setting budaya masyarakat desa Tungkal masih terdapat tradisi kebiasaan mistik seperti percaya kepada makam atau kuburan, yang dianggap memiliki kekuatan atau bisa menjadi penghubung dengan kekuatan yang lebih tinggi. Dalam cerita ini, pengarang menggambarkan adanya makam Mbah parmin (khusus pada babak I bagian  3), yang dikenal sebagai makam keramat, dan sering menjadi rujukan masyarakat kota untuk berziarah, mencari berkah atau washilah, yaitu kepercayaan bahwa makam bisa menjadi perantara untuk memenuhi hajat kebutuhan manusia.
E.     Sudut Pandang
Dalam Novel Suti, pengarang menggunakan sudut pandang orang ketiga yang serba tahu. Di sini pengarang bertutur dan bercerita seolah olah dia menjadi bagian dari alur cerita novel tersebut. Di dalam sudut pandang orang ketiga (dia)-mahatahu, pengarang berada di luar cerita, biasanya pengarang hanya menjadi seorang pengamat yang mahatahu dan bahkan mampu berdialog langsung dengan pembaca.
Pada novel Suti, sudut pandang pihak ketiga yang dilakukan oleh Sapardi Djoko Damono, seolah memosisikan bagian dari inti cerita tersebut. Bahkan seolah olah penulis hadir dan terlibat dalam proses cerita, melebur dan menyatu didalam alur cerita. Sehingga pembaca akan merasakan bahwa membaca Novel Suti seolah olah membaca riwayat atau kisah kehidupan nyata dari seorang penulis Sapardi Djoko Damono. Beberapa tokoh yang diceritakan dalam novel ini khususnya kehidupan keluarga Pak Sastro, sebenarnya secara tidak langsung menceritakan kehidupan Sapardi Djoko Damono itu sendiri.

Analisis Perubahan Sosial Novel Suti Menurut Teori Strukturalisme Genetik

A.    Subyektif Kolektif
Subyektif kolektif adalah pikiran pikiran individu yang ditampilkan dalam struktur kelompok. Sedangkan dunia intersubyektif adalah dunia yang dihuni bersama individu lain. Sehingga transindividual subyektif menolak adanya kultus individu dan mendorong munculnya energy baru untuk membangun pandangan dunia. Dalam Novel Suti, subyektif kolektif untuk pikiran individu terwakili oleh pandangan pandangan ibu Sastro dalam keluarga Priyayi yang merupakan bagian dalam struktur kelompok kalangan priyayi, seperti kutipan di bawah ini.
Diam diam perempuan sabar itu tahu antara lain dari bisikan Suti bahwa anaknya malah sudah menjadi panutan  anak anak desa sebayanya- tidak hanya dalam perkara mencuri tebu tetapi juga yang lain lain termasuk menjerat anjing liar untuk dijual ke warung sate anjing yang larisnya minta ampun (hal 44).

Dalam kutipan di atas memperlihatkan bahwa sosok Ibu Sastro selaku perempuan priyayi tidak memandang dirinya serba tinggi dan merasa sok paling tahu. Ia juga mau menerima masukan dari orang lain yang secara kasta dan strata sosial lebih rendah dari dirinya. Perilaku anaknya di luar juga berkat bisikan dari Suti, seorang perempuan lain di luar anggota keluarganya yang sudah dianggap seperti anggota keluarga sendiri. Di sini sosok Bu Sastro menolak adanya kultus individu terhadap dirinya termasuk dari segi gagasan dan pikiran, sehingga ia membuka diri terhadap masukan dan pikiran orang lain. 
“Anjing  Ibu pernah nggigit orang, kan?” tuduhannya tegas. Dan memang benar. Janda itu diam, tidak tahu harus menjawab apa.   “apa Ibu peduli? Apa Ibu minta maaf pada yang digigit? Malah menyalahkannya kan? Malah menuduhnya telah mengganggu anjing Ibu, kan?” (hal. 48)

Sosok Bu Sastro yang berasal dari keluarga Priyayi, selama ini identik dengan sikap yang halus dan lemah lembut. Akan tetapi dalam novel Suti ini, penulis menggambarkan sebaliknya bahwa sosok Bu Sastro selain lembut ternyata pada sisi lain bisa bersikap keras dan tegas ketika melihat sesuatu yang dirasa tidak adil. Penulis tidak ingin terjebak pada stereotype dalam menggambarkan sosok perempuan priyayi. Transindividual subyektif penulis ingin menghilangkan mitos dan kutlus individu terhadap perempuan priyayi dan menampilkan sosok perempuan priyayi dalam wajah baru yang beda, yaitu mampu menjadi kekuatan baru dengan menjadi sosok yang lebih keras dan tegas dibandingkan penggambaran sosok priyayi lainnya
“Tetangga kita itu memang harus dilawan, mentang mentang janda prajurit seluruh desa suka berlebihan menghormatinya.” (hal 49).
Sedangkan subyektif kolektif pada individu kelompok marginal atau non priyayi dimunculkan pada sosok Suti, seorang perempuan desa dari pinggiran kota, berasal dari keluarga miskin dengan kehidupan sosial yang pas pasan. Meski demikian, penulis menggambarkan sosok perempuan Suti dalam perspektif subyektif kolektif memiliki tingkat kecerdasan berpikir melebihi anak anak seusianya. Hal ini terjadi karena Suti mengalami perubahan dan lompatan berpikir sebagai hasil proses interaksi dan terlibat dalam kehidupan keluarga Sastro. Di situlah Suti mengalami proses transformasi pemikiran, pengetahuan, sikap, tingkah laku, tindakan dan cara pandang.
Perempuan muda itu telah merasa menjadi susah senang Bu Sastro, tampaknya. Ia pulang ke rumah ibunya kalau pekerjaan di keluarga Sastro selesai, biasanya habis makan malam. Demikianlah Suti telah merasa pindah rumah, pindah keluarga adalah istilah yang tepat. Priyayi itu berjanji untuk memperlakukan Suti sebaik baiknya. (hal. 58-59)

Dalam perspektif subyektif kolektif dan trans individu, perubahan sosial terjadi pada sosok Suti berkat keterlibatannya dalam keluarga Sastro. Suti mengalami lompatan pemikiran dan transformasi individu hasil dari keikutsertaannya dalam keluarga Sastro. Apa yang dilihat, didengar, dirasa dari pengamatan terhadap gaya hidup, cara bicara, pola pikir dan interaksinya terhadap hal hal baru, telah membuat terjadinya proses transformasi perubahan pada sosok individu Suti.
“Cah Ayu, kakakmu Kunto mau sekolah di Gadjah Mada”. Panggilan Cah Ayu lama kelamaan terdengar biasa juga ditelinganya meskipun sama sekali tidak membuatnya merasa berubah menjadi priyayi. Ia diam dan Bu Sastro melanjutkan…(hal. 60)

Proses transformasi individu yang mempengaruhi kesadaran subyektif kolektif seorang Suti ketika sudah berubah menjadi bagian dari keluarga priyayi, tetap membuat Suti tidak berubah dalam artian menjadi beda dari sisi perilaku sosial. Suti mencoba untuk tetap menjadi dirinya sendiri kendati ia telah menjadi bagian dari keluarga Priyayi. Suti tidak menjadi sombong, angkuh, atau menjaga jarak dengan teman temannya. Panggilan Cah Ayu dari Bu Sastro yang sangat dihormatinya pada awalnya membuat ia kaget karena seolah membuat ia berubah dirinya dari kasta rendah, bawahan menjadi kasta priyayi.
Dalam hal di atas, kerangka berpikir seorang Sapardi Djoko Damono dalam perspektif struktural genetik pada aspek kesadaran subyektif kolektif menggambarkan bahwa proses perubahan sosial pada level individual, yaitu sosok Suti dan Bu Sastro terjadi secara evolutif, pelan pelan dan transformatif. Hal ini sesuai dengan gaya sosok Sapardi Djoko Damono sebagai orang yang tenang dalam berbicara dan bertutur kata, sehingga penggambaran sosok Suti ketika berproses menjadi priyayi sebagai sesuatu yang seolah biasa biasa saja.
Suti mulai meraba raba posisinya dalam kehidupan Prabu Kresno-nya itu. Mencoba menggeser lokasi dirinya sendiri dalam sebuah peta yang rasanaya semakim lama mencakup daerah yang semakin luas. Ia merasa diangkat anak oleh Bu Sastro, oleh Pak Sastro diperkenalkan sebagai anaknya oleh Kunto diperkenalkan sebagai saudara kepada kawan kawannya. (hal 143)

Kutipan di atas menjelaskan perasaan subyektif kolektif seorang perempuan Suti yang berasal dari kelas bawah, ketika masuk dalam lingkungan keluarga priyayi Pak Sastro. Sikap dan penerimaan keluarga Pak Sastro yang memposisikan Suti bukan sebagai orang lain, tapi sudah menganggap Suti sebagai bagian dari keluarga besar mereka, memperlihatkan sikap keramahan dan kebaikan dari Pak Sastro dan keluarganya. Suti mencoba meraba dan menebak posisi barunya tersebut, dan apa yang harus dilakukannya. Karena semua orang di keluarga tersebut baik pada dirinya meski dalam tingkatan yang berbeda.
B.     Pandangan Dunia
Dalam novel Suti, pandangan dunia seorang pengarang terkait kecenderungan suatu masyarakat tergambarkan ketika ia menjelaskan situasi dan kondisi masyarakat desa Tungkal pada tahun 1960-an yang menurutnya menjadi awal dari sebuah proses perubahan sosial.
Panggung dongeng ini adalah sebuah kampung di pinggiran kota Solo, tepatnya Desa Tungkal. Waktu itu tahun 1960-an, desa tersebut (kampung) mulai kedatangan orang orang yang berasal dari pusat kota, harga tanah sangat murah sebab belum tersentuh oleh rencana pembangunan kota, jauh dari Kraton Kasunanan, yang terletak di pusat kota.. (hal. 15)

Kutipan di atas merupakan sebuah konstruksi pengarang dalam mendeskripsikan latar belakang  sosial sebuah masyarakat yang menjadi panggung utama dalam cerita novel Suti. Pandangan dunia pengarang dalam mendeskripsikan latar belakang sosial terbagi menjadi tiga hal, yaitu (i) kondisi Desa Tungkal pada tahun 1960-an, (ii) letak geografis Desa Tungkal, dan (iii) kebiasaan masyarakat Desa Tungkal. Dalam mendeskripsikan kondisi Desa Tungkal pada awal tahun 1960-an, pengarang hanya sekilas menjelaskan situasi masyarakatnya dimana saat itu terjadi proses migrasi warga dari pusat kota atau pusat pemerintahan ke daerah pinggiran. Migrasi ini terjadi karena beberapa sebab diantaranya harga tanah di daerah pinggiran yang masih sangat murah, pembangunan yang semakin marak sehingga menyebabkan masyarakat menjadi semakin terpinggirkan. Pusat kota lebih banyak untuk aktifitas pemerintahan, pusat bisnis perdagangan dan jasa. Sehingga orang banyak memilih tinggal dipinggiran kota yang relatif masih murah harga tanahnya. Migrasi juga terjadi karena adanya beberapa keluarga priyayi yang  sudah tidak lagi tinggal di lingkungan Kraton Kasunanan atau mereka harus menjual rumahnya sehingga harus pindah ke daerah pinggiran.
Di sinilah pengarang dengan pandangan dunianya menjelaskan terjadinya perubahan sosial di masyarakat dari sisi kepercayaan kosmologis di antaranya karena faktor migrasi orang kota ke daerah pinggiran, yang membawa kebiasaan baru terkait makam keramat  Mbah Parmin sehingga warga meniru apa yang dilakukan orang kota terkait makam dan mendapatkan keuntungan baik ekonomis maupun non ekonomis dari makam keramat Mbah Parmin.
Seperti kena sihir semua mengikuti Bu Sastro menuju makam. Sampai di pintu gerbang Ibu itu mengucapkan kalimat tidak jelas seperti minta izin masuk. Kemudian dikatakannya kepada yang lain bahwa Mbah Parmin sudah memberi mereka izin untuk bertemu dengan Pak Sastro.  (hal. 190)

Kutipan di atas menjelaskan konsistensi pandangan dunia pengarang tentang kemampuan Bu Sastro dalam berkomunkasi dengan dunia ghaib. Bagi Sapardi Djoko Damono yang juga berlatar belakang priyayi, dunia priyayi tidak bisa dilepaskan dari dunia klenik dan mistik dalam kepercayaan kosmologisnya. Kalangan priyayi meyakini bahwa ada makhluk lain diluar makhluk dunia. Dan bahwasanya orang yang sudah mati, mereka mengalami hidup kembali (reinkarnasi) di alam lain. Mereka masih menjalin komunikasi denga manusia di dunia. Pengarang menggambarkan bagaimana kemampuan Bu Sastro dalam berkomunikasi dengan Mbah Parmin selaku penguasa makam dan meminta izin kepada beliau untuk diperbolehkan masuk dalam makam, untuk berziarah ke makam suaminya Pak Sastro bersama anggota keluarganya.

C.    Fakta Kemanusiaan
Fakta kemanusiaan dalam novel Suti dipahami sebagai tindakan manusia baik verbal maupun fisik yang  dipahami dalam perspektif pengetahuan. Fakta kemanusian terbagi dua, fakta individu dan fakta sosial. Fakta individu merupakan tindakan manusia yang bersifat libidinal seperti mimpi, perilaku orang gila, dan sebagainya. Sedangkan fakta sosial merupakan fakta yang punya peranan dalam sejarah dan mempunyai dampak dan hubungan sosial, ekonomi, politik antar anggota masyarakat.

D.    Fakta Sosial
Keluarga Sastro segera di kenal di desa itu sebagai keluarga baik baik sebab mengizinkan sumurnya ditimba para tetangganya. Orang orang suka bingung memanggil laki laki setengah baya yang dibayangkan sebagai Prabu Kresna oleh Suti itu. Kadang kadang di panggil” Den” kadang kadang “Pak”, keluarga itu tidak peduli sama sekali sebab ketika di Ngadijayan pun mereka bergaul tidak hanya dengan priyayi tapi dengan macam macam jenis orang. (hal. 30)

Ada dua fakta sosial yang  bisa dipahami dari kutipan diatas yaitu sosok keluarga Pak Sastro sebagai sebuah fakta sosial yang dikenal sebagai keluarga baik baik oleh masyarakat setempat. Keluarga Pak Sastro membolehkan sumur miliknya di pakai oleh masyarakat umum sekitar rumahnya. Hal ini merupakan sesuatu yang baru bagi warga Desa Tungkal, yang dilakukan Keluarga Priyayi yang baru pindah dari kota. Sosok priyayi masih memiliki strata kelas sosial tinggi di mata warga Desa Tungkal. Mereka dianggap memiliki kedudukan sosial tinggi karena keluarga Priyayi dianggap memiliki kedekatan dengan kehidupan kraton yang berarti dekat dengan pusat kekuasaan. Sementara warga Desa Tungkal adalah masyarakat kalangan kelas bawah yang identik dengan rakyat biasa, rakyat jelata, kemiskinan dan tidak memiliki akses terhadap sumber ekonomi dan kekuasaan.

E.     Kelas Sosial
Kelas sosial dalam Novel Suti terbagi menjadi dua struktur kelas sosial yaitu kelas sosial borjuis yang diwakili oleh kalangan kaum priyayi dalam hal ini keluarga Pak Sastro, dan kelas sosial kaum buruh yang diwakili oleh Suti, Tomblok, Parni dan Sarno. Mereka adalah kelas sosial kaum proletar (miskin). Dalam pandangan pengarang, kelas sosial tidak harus diposisikan saling berhadapan (vis a vis) sebagaimana dalam pandangan Karl Marx. Kelas sosial antara priyayi dan kaum buruh miskin, dalam pandangan seorang Sapardi Djoko Damono bisa dilakukan saling bersinergi dan berkolaborasi.

Implikasi Perubahan Sosial Novel Suti terhadap Pembelajaran Apresiasi Sastra di SMA
Mengacu kepada Kurikulum 2013 revisi 2016, maka pembelajaran bahasa Indonesia dan sastra, dengan kompetensi menganalisis isi teks isi novel baik lisan maupun tulisan. Adapun model pembelajarannya adalah:
1.      Mengamati
a.       Siswa membaca teks tentang struktur dan kaidah teks novel.
b.      Siswa mencermati uraian tentang struktur dan kaidah teks novel.
2.      Mempertanyakan
Siswa melakukan tanya jawab tentang hal hal yang berhubungan dengan isi teks
3.      Cara Penilaian
a.       Siswa berdiskusi untuk memahami perbedaan dan persaman dua buah teks novel yang dibaca
b.      Siswa diminta memproduksi teks novel yang memilii koherensi dengan karakteristik teks baik lisan maupun tulisan
4.      Observasi
Guru melakukan pengamatan terhadap siswa dalam pengumpulan data, analisa data dan penyusunan laporan
5.      Test Tertulis
Guru memberikan tes tertulis kepada siswa untuk mengetahui kemampuannya dalam memahami, menerapkan, dan memproduksi teks novel yang memiliki koherensi sesuai karakter teks baik lisan maupun tulisan
Analisis data memperlihatkan bagaimana perjuangan Suti, seorang perempuan desa yang miskin untuk mengangkat derajat hidupnya dengan mengabdi sebagai buruh pada sebuah keluarga priyayi yang bernama Pak Sastro. Sebelumnya lingkungan pergaulan Suti adalah para lelaki berandalan yang banyak bersentuhan dengan minuman keras. Meski hidup dan tinggal dilingkungan sosial masyarakat yang keras, Suti tetap masih punya prinsip hidup, tegar dalam pendirian, dan mampu menjaga integritas dan kualitas  pribadinya termasuk di dalamnya masalah akhlak, moralitas dan susila.

PENUTUP
Simpulan
Berdasarkan hasil temuan penelitian tentang perubahan sosial masyarakat Jawa pada Novel Suti dalam perspektif struktural genetik dan aspek, maka ada beberapa temuan yang bisa disimpulkan, yaitu:
1.        Pada aspek instrinsik, untuk penokohan, setting, alur, dan sudut pandang penulis menggambarkan terjadinya proses perubahan sosial baik level individu maupuan masyarakat.
2.        Proses perubahan sosial pada masyarakat Jawa pada novel Suti terjadi pada dua tingkatan yaitu level individu (sosok Suti) dan level masyarakat. Pada level Suti, perubahan sosial terjadi ketika Suti yang berasal dari kalangan bawah dan keluarga miskin, mengalami proses transformasi ketika masuk dan tinggal bersama keluarga Priyayi. Sedangkan perubahan sosial pada tingkat masyarakat, pengenalan budaya sumur dalam aktifitas sosial keseharian, yang terjadi berkat penggunaan fasilitas sumur pribadi miliki keluarga priyayi Pak Sastro untukk fasilitas umum masyarakat sekitar.
3.        Dalam persepektif struktural genetik dillihat dari apsek subyektif kolektif, fakta kemanusiaan, pandangan dunia, dan kelas sosial menjelaskan bahwa perubahan sosial dalam Novel Suti memiliki keterkaitan satu sama lain.
Saran
Berdasarkan hasil kesimpulan dan implikasi dari penelitian tentang perubahan sosial dalam novel Suti dengan perspektif struktukral genetik, maka ada beberapa saran yang bisa diberikan untuk melengkapi hasil penelitian ini ke depannya, yaitu:
1.      Perlunya ada penelitian lanjutan terhadap Novel Suti ini yang melihat dari sisi lainnya, tidak hanya dari satu sisi perubahan sosial semata. Hal ini sangat penting karena perubahan sosial yang dijelaskan oleh pengarang novel Suti yaitu Sapardi Djoko Damono masih bersifat awal kehidupan masyarakat.
2.      Novel Suti ini dapat dimanfaatkan sebagai salah satu rujukan karya sastra bagi materi apresiasi sastra, khususnya tentang sosiologi sastra..

Daftar Pustaka

Damono, Sapardi Djoko. Suti. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2015.
Kleden, Ignas. Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2004.
Kosasih, Dr. E. Dasar-dasar Keterampilan Bersastra. Bandung: CV Yrama Widya, 2012.
Krispendoff, Klaus. Analisis Isi Pengantar dan Teori Metodologi. Jakarta: Rajawali Press, 1993.
Miles, Mattew B dan A. Michael Huberman. Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber Tentang Metode-Metode Baru. Jakarta: UI Press, 1992.
Nurgiantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi (Edisi Revisi). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2013.
Permana, Ruswendi. Aspek Sosiologi dalam Karya Ajip Rosidi. Bandung: Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). 2014.
Ratna, Prof. Dr. Nyoman Kutha. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012.
Sitepu, Gustaf. Strukturalisme Genetik Asmaraloka. Medan: Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara (USU). 2009.
­­­­­­­­­­­­­­Soerjono, Soekanto. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1990.
Yudiono. Telaah Kritik Sastra. Bandung: Angkasa, 1986.
Faruk. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014.
Godmann, Lucien. Cultural Creation in Modern Society. London: Great Britain Maxwell, 1977.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar