NILAI KARAKTER PADA
KEARIFAN LOKAL
DALAM KARYA
SASTRA:
Apresiasi
Sastra dalam Kumpulan Cerpen
Bertanya Kerbau
pada Pedati
Fawziah, S.S.
Widyaiswara Pusdiklat Teknis
Pendidikan Agama dan Keagamaan
Badan Litbang Dan Diklat Kementerian
Agama RI
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai karakter pada kearifan lokal dalam karya
sastra yang terdapat dalam kumpulan cerpen Bertanya Kerbau Pada Pedati,
Karya A.A. Navis.
Permasalahan utama adalah apa saja nilai karakter pada kearifan lokal yang terdapat dalam kumpulan cerpen
karya AA Navis, dan bagaimana apresiasi pengajaran sastra untuk menguatkan
nilai karakter tersebut kepada siswa. Penelitian ini menggunakan metode
kualitatif. Sumber data
primer adalah cerpen-cerpen yang terdapat
dalam kumpulan cerpen Bertanya
Kerbau pada Pedati. Analisa data menggunakan deskriptif analitif yang berawal dari
pengumpulan data, validasi data, reduksi data, penyajian data dan penarikan
kesimpulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa buku kumpulan cerpen Bertanya
Kerbau pada Pedati
memiliki pesan nilai karakter yang sangat kuat. Nilai karakter tersebut digali
dari kearifan lokal masyarakat Minangkabau sebagai setting sosial dari
cerita dalam cerpen. Hasil nilai karakter yang ditemukan dalam buku
tersebut adalah karakter religiousitas, nasionalisme dan integritas. Penelitian
ini juga memperlihatkan bahwa pengajaran sastra bisa menjadi medium yang tepat
dalam penguatan penanaman nilai karakter kepada siswa dalam pendidikan di
sekolah.
Kata kunci: pendidikan karakter, kearifan
lokal, analisis isi, cerpen
Abstrac
This study aims to analyze the value of characters in local wisdom
in literary works contained in a collection of short stories Asking Buffalo on Pedati, Works A.A. Navis. The main problem is what are the
character values of local wisdom contained in AA Navis's short story
collection, and how the appreciation of literary teaching to strengthen the
value of these characters to students. This research uses qualitative method.
Primary data sources are short stories contained in a collection of short
stories Asking Buffalo on Pedati. Analyze the data using descriptive analytics
that originated from data collection, data validation, data reduction, data
presentation and conclusion. The results showed that the book collection of
short stories Asking Buffalo on Pedati has a message a very strong character
value. The value of these characters is extracted from the local wisdom of the
Minangkabau community as the social setting of the story in the short story.
The result of the character values found in the book is the character of
religiousity, nationalism and integrity. This research also shows that literary
teaching can be a proper medium in strengthening the inculcation of character
values to students in school education..
Key Word: Character Eduction, local wisdom, conten analysis, short story
PENDAHULUAN
Pendidikan
bukan sebuah proses transfer pengetahuan semata dari guru kepada siswa (intelectual
an sich), tapi pendidikan juga merupakan proses penguatan nilai karakter siswa sebagai ruh terdalam atau inti
sebuah pendidikan yang berdampingan dengan potensi intelektual. Salah satu
sumber karakter adalah nilai kearifan lokal yang terdapat dalam cerita cerita yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat
daerah tertentu pada
pengajaran sastra. Kearifan lokal merupakan sebuah pengetahuan hasil proses
adaptasi komunitas lokal dalam pengalaman hidupnya yang ditranformasikan secara
turun-temurun, dari
satu generasi ke generasi selanjutnya. Nilai kearifan lokal ini digunakan oleh masyarakat setempat dalam
proses interaksi sosial kehidupan sehari-hari dengan
alam dan lingkungan sosialnya, sebagai bagian dari mekansime untuk bertahan
hidup. Kearifan lokal ini menyatu dalam sistem norma dan budaya yang diekspresikan dalam
sistem budaya dan sistem sosialnya dan ditransmisikan melalui berbagai cerita-cerita berupa mitos,
cerita, legenda, dalam jangka waktu yang lama serta dapat berbentuk babad,
suluk, tembang, hikayat, lontarak, dan
berbagai cerita yang
mewakili masyarakat lainnya.
Di antara cerita-cerita yang terdapat dalam masyarakat
yang memiliki nilai kearifan lokal adalah cerita-cerita yang terdapat
pada masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat. Minangkabau dikenal sebagai
masyarakat dengan kebudayaan yang sangat religious dengan semboyannya adat
basandi syara’ syara’ basandi kitabullah (adat bersendi agama dan agama
berdasarkan kitabullah). Cerita tentang masyarakat
Minang atau cerita yang berlatar belakang masyarakat dan budaya minang cukup terkenal dan
banyak, seperti kisah Siti
Nurbaya, Malin Kundang, Robohnya Surau Kami, Bertanya
Kerbau pada Pedati dan
lainnya. Cerita-cerita
tersebut sarat dengan nilai penguatan karakter siswa yang berbasis kepada
kearifan lokal yang ada di Bumi Minangkabau. Salah satu sastrawan Minangkabau yang terkenal dan
sangat produktif
menulis adalah Ali Akbar Navis atau yang dikenal dengan A.A Navis. Beberapa
novel dan kumpulan cerpen yang terkenal, seperti Robohnya Surau Kami,
Gerhana, Bianglala, Jodoh, Bertanya Kerbau pada Pedati, Kemarau,
Hujan Panas Kabut Bumi dan lainnya.
Dari sekian
banyak karya karya AA Navis, penulis ingin mengkaji kumpulan cerpen Bertanya
Kerbau pada Pedati terkait dengan nilai karater pada kearifan lokal. Permasalahan yang
ingin dikaji dalam penelitian ini adalah (i) apa nilai karakter pada kearifan
lokal yang terdapat dalam buku kumpulan cerpen tersebut? (ii) bagaimana
bentuk penguatan karakter siswa melalui kearifan lokal? (iii) bagaimana
apresiasi pengajaran sastra dengan menggunakan buku tersebut untuk penguatan
karakter siswa?. Untuk memperkuat analisa dalam penelitian ini, ada tiga kajian
teori yang digunakan yaitu kearifan lokal,
pendidikan karakter dan apresiasi sastra dalam penguatan karakter.
1.
Nilai Karakter
Teori karakter merupakan struktur
sifat dasar yang dimiliki manusia, yang berbeda satu sama lainnya (Hugo, 1986:
52 dan 297). Karakter
juga memiliki aspek berupa tujuan
yang dimiliki manusia dalam melakukan tindakannya. Tujuan disini terkait aspek
etis hubungan manusia dengan yang lainnya, bagaimana mereka bekerjasama
memenuhi norma-norma
kesusilaan dari sisi baik dan buruknya (Petrus, 1982: 86-88).
Urgensi nilai
karakter dalam pendidikan secara eksplisit disebutkan dalam UU No. 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) bahwa Pendidikan Nasional
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa
yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman, dan
bertakwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga
negara Indonesia yang demokratis dan bertanggung jawab . Tujuan pendidikan nasional
tersebut kemudian di elaborasikan dalam PP No. 19 tahun 2005 tentang berbagai standar
kompetensi yang harus dipenuhi beserta karakterya selain intelektualitas.
Pendidikan
karakter sangat penting bagi siswa karena kesuksesan seseorang ketika terjun ke
masyarakat tidak hanya ditentukan dari kemampuan tingkat intektual dan kemampun
teknsi manajerial (hard skill) tapi juga kemampuan mengelola diri dan
orang lain (soft skill), seperti attitude, etika, respect, kerjasama, gotong
royong, integritas, kemandirian dan
lainnya. Dalam buku Pedoman Pendidikan dan Penguatan Karakter yang diterbitkan
oleh Kemendikbud, disebutkan ada lima nilai karakter -yang sudah diperas dari
sebelumnya delapan belas karakter,-
yang harus dimiliki oleh siswa,
yaitu religiousitas, nasionalis, mandiri, integritas, dan gotong royong.
Religousitas dengan sub nilai karakter, yaitu cinta damai, toleran, menghargai perbedaan, teguh pendirian,
percaya diri, kerjasama antar pemeluk agama dan kepercayaan, anti bullying
dan kekerasan, ketulusan, persahabatan, tidak memaksakan kehendak, mencintai
lingkungan dan melindungi yang kecil dan tersisih. Nilai karakter nasioalis
memiliki sub nilai karakter, yaitu apresiasia terhadap kekayaan budaya bangsa
sendiri, menjaga kekayaan budaya bangsa, rela berkorban, unggul dan
berprestasi, cinta tanah air, menjaga lingkungan, taat hukum, bersih, disiplin,
menghormati keragaman budaya suku dan agama.
Karakter mandiri yang mendidik siswa untuk bersikap dan berprilaku tidak
bergantung pada orang lain, tapi mengutamakan dan mengerahkan segala potensi
kemampuan diri sendiri. Sub nilai karakter mandiri adalah etos kerja, tangguh,
tahan banting, profesional, kreatif, berani, dan menjadi pembelajar sepanjang
hayat. Nilai karakter integritas mendidik siswa untuk satunya kata dan
perbuatan, bisa dipercaya dan memiliki komitmen kesetiaan terhadap nilai
kemanusiaan. Nilai karakter gotong royong mendidik siswa untuk saling bahu membantu
menyelesaikan masalah, menjalin komunikasi dan persahabatan serta memberikan
pertolongan kepada mereka yang membutuhkan. Sub nilai karakter gotong royong
adalah saling menghargai, kerjasama, inklusif, komitmen atas musyawarah
bersama, musyawarah mufakat, tolong menolong, solidaritas, empati, anti
diskriminasi, anti kekerasan, dan sikap kerelawanan (Kemendikbud, 2016: 8-9)
2.
Kearifan Lokal
Kearifan lokal
berasal dari dua kata yang berbeda, yakni kearifan dan lokal. Kearifan (wisdom) bermakna pengetahuan yang berkenaan dengan penyelesaian
suatu masalah untuk mewujudkan keseimbangan lingkungan dan keserasian sosial.
Sedangkan istilah lokal berarti setempat (kawasan provinsi, kabupaten, atau
desa). Ketika
berbicara mengenai kearifan lokal yang terlintas di benak kita adalah sesuatu yang bersifat kelokalan/kedaerahan dan berasal dari jaman dahulu kala atau
warisan nenek moyang. Memang benar
bahwa kearifan lokal tidak bisa dipisahkan dengan suatu komunitas/daerah dimana kearifan lokal tersebut lahir dan berkembang. Kearifan lokal merupakan proses dan produk
revitalisasi serta transformasi
pengetahuan dan budaya, juga praktek-praktek adat. Tidak hanya itu kearifan lokal memungkinkan orang
untuk menjadi lebih strategis dalam
bernegosiasi ketika menghadapi arus globalisasi yang berupaya menyeragamkan umat manusia dalam berbagai aspek kehidupan. Berdasarkan pendapat
Levitt terdapat 3 (tiga) hal penting tentang kearifan lokal, yakni:
(1) bahwa kearifan lokal diciptakan oleh anggota
komunitas/masyarakat itu sendiri; (2) menjadi panutan bagi anggota komunitas dalam menjalankan
kehidupan sehari-hari; (3) kearifan
lokal tidak dapat muncul begitu saja, tetapi merupakan hasil revitalisasi dan transformasi pengetahuan serta budaya (Levitt Anderson, 2003)
Kearifan lokal merupakan salah satu produk budaya.
Menurut Asuncion-Lande, kebudayaan sebagai sistem simbol bersama, keyakinan, dan praktik yang diciptakan oleh sekelompok
orang sebagai mekanisme
adaptif untuk kelangsungan
hidup dan perkembangan mereka dan
kemudian ditransmisikan kepada
generasi berikutnya sebagai bagian dari pengetahuan mereka. Sebagai sebuah produk budaya kearifan lokal dapat menjadi identitas
komunitas / masyarakat yang
membedakannya dengan komunitas / masyarakat lainnya, Setiap komunitas pasti memiliki identitas etnis yang khas sesuai dengan karakteristik masing-masing Ascunsion Lande, 1990)
Kearifan lokal dalam sebuah karya sastra
biasanya sangat dipengaruhi oleh pengarangnya. Seperti karya sastra Umar Khayam
dalam novel Para Priyayi satu dan dua (1999), Sapardi Djoko Damono
dalam novel Suti (2015), Ahmad Tohari dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk
yang sarat dengan nilai kearifan lokal masyarakat Jawa. Kumpulan Cerpen
Robohnya Surau Kami dan Bertanya Kerbau pada Pedati karya AA Navis juga sarat dengan nilai kearifan lokal masyarakat
Minangkabau. Munculnya nilai kearifan lokal dalam sebuah karya sastra,
memperlihatkan bahwa sastra sebagai sebuah produksi seni tidak lepas dari
konteks yang terjadi di masyarakat. Nilai kearifan lokal dalam sebuah karya
sastra bisa memberikan sebuah rasa tersendiri bagi pembaca dalam mengkaji dan
mendalami sebuah budaya yang berkembang di masyarakat.
3. Apresiasi Sastra
Dalam penelitian ini, teori apresiasi sastra
menggunakan teori Moody dalam bukunya yang terkenal The Teaching of
Literature (1971). Menurutnya, sebelum melakukan apresiasi sastra, kita
harus tahu prinsip sebuah sastra. Moody membagi dua prinsip penting dalam
sastra, yaitu sastra sebagai sebuah pengalaman dan sastra sebagai sebuah
bahasa. Sebagai pengalaman, karya sastra harus bisa dinikmati, dirasakan, dan
dipikirkan. Oleh sebab itu, mengapresiasi sastra harus bisa membawa pengalaman
baru dan pengaruh kehidupan bagi pembacanya. Sedangkan sastra sebagai bahasa, karena
sastra menggunakan bahasa sebagai media komunikasi untuk menyampaikan pesan
pesannya. Dengan demikian, sebuah karya sastra harus menyertakan unsur-unsur
kebahasaan secara lugas, jelas, dan tuntas. Unsur kebahasaan itu misalnya ada
pernyataan, ungkapan, nada, keterangan, perbandingan dan lainnya. Bagi guru
pengajar sastra, harus mampu memahami unsur-unsur kebahasaan, seperti seluk
bahasa dalam karya sastra dengan melakukan analisis secara verbal.
Menurut Moody (1971: 26) dalam apresiasi sastra, tugas
guru hanya sebagai fasilitator, bukan pengantar siswa berpengalaman sastra.
Siswa harus menentukan sendiri proses pengalaman sastranya. Moody menawarkan
enam tahapan dalam proses apresiasi sastra, yaitu
1) Pelacakan (pendahuluan)
Dalam tahap ini, guru harus membaca semua karya sasta secara cermat yang
akan diajarkan kepada siswa. Guru juga
harus mencari informasi terkait fakta-fakta dalam sebuah karya sastra yang
perlu penjelasan, sehingga dia mampu menjelaskan secara detil kepada siswa,
termasuk juga berbagai pengetahuan penting yang dibutuhkan terkait dengan isi
sastra. Selain itu, dalam tahap pelacakan ini, guru harus menentukan apa
strategi dan metode pengajaran sastra yang tepat kepada siswa.
2) Penentuan sikap praktis
Tahapan kedua ini, berkaitan dengan hal teknis dalam penyajian apresasi
sastra guru dikelas. Guru harus menentukan informasi apa saja atau gambaran
yang cukup yang bisa diberikan kepada siswa dalam mempelajari sastra yang
sedang dipelajari. Guru juga harus menentukan tema-tema sastra yang tepat
sesuai kapasitas siswa. Hal ini sangat penting agar proses pengajaran sastra
tidak membosankan bagi siswa.
3) Introduksi atau pengantar
Pada tahapan ini, seorang guru harus menjelaskan informasi awal dan
singkat terkait karya sastra yang akan diajarkan. Informasi awal itu seperti
identitas pengarang, karya-karyanya serta setting sosial masyarakat
(kondisi sosiologis dan historis) yang ada dalam sastra tersebut. Hal ini
sangat penting sehingga ketika siswa menerima pengajaran sastra, dia bisa
langsung membayangkan atau mengimajinasikan dirinya larut dalam suasana yang
terdapat dalam cerita tersebut
4) Penyajian
Pada tahap penyajian ini, guru meminta
siswa membaca secara langsung karya sastra yang akan dipelajari. Jika karya
sastra terkait puisi, maka siswa yang harus membaca puisi tersebut. Begitu juga
dengan satra lainnya, seperti cerpen atau novel. Tahapan penyajian ini sangat
penting agar siswa bisa secara langsung mengetahui dan merasakan isi sastra
tersebut dengan membacanya sendiri. Oleh sebab itu, dalam tahap ini guru harus
menyiapkan ketersediaan bahan bacaan kepada siswa sesuai kebutuhan. Untuk puisi
bisa dibaca secara langsung oleh siswa, tapi kalau cerpen atau novel karena
ceritanya sangat panjang, maka bisa dibaca secara bergiliran dan bergantian.
Karena pada tahapan penyajian, yang penting semua siswa ikut menikmati
penyajian ini dengan semuanya bisa membaca karya sastra yang dipelajari.
5) Diskusi
Pada tahapan ini guru meminta siswa
memberikan feedback, tanggapan, komentar, kesimpulan terhadap isi karya
sastra. Guru memberikan peluang dan kesempatan kepada siwa untuk mendiskusikan
apa tema pokok dari karya sastra tersebut. Dalam tahap ini, hendaknya guru
lebih irit bicara, banyak mendengar dan menjadi lebih bijaksana dalam
menanggapi komentar dan kesimpulan dari siswa. Guru juga harus menghindari dan
mencegah diskusi keluar dari jalur, dan tetap fokus kepada tema dan pokok
bahasan sastra. guru mempersilahkan murid untuk mengambil kesimpulan sesuai
yang mereka pahami.
6) Pengukuhan
Tahapan pengukuhan, guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk
mengukuhkan pemahaman dan pengalaman siswa dalam mengapresiasi sastra yang
telah dipelajarinya. Pengukuhan tersebut bisa dilakukan secara lisan maupu
tulisan. Siswa mengukuhkan secara lisan, misalnya dengan memberikan kesempatan
mereka tampil menceritakan apa yang mereka rasakan, pahami, dan hayati setelah
membaca karya sastra tersebut. Sedangkan secara
tulisan, guru meminta kepada siswa untuk membuat essay tulisan
yang isinya tentang pengalaman, pemahaman, dan penghayatan siswa setelah
membaca sebuah karya sastra.
METODE PENELITIAN
Metode
pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode deskirpitif analisis. Metode
deskripitif analisis dilakukan dengan mendeskripsikan fakta-fakta yang ada
dalam sebuah teks untuk kemudian dilakukan sebuah analisis. Pendeskripsian dilakukan
untuk menemukan unsur-unsur fakta yang ada dalam sebuah teks, selanjutnya dianalisis
(Kutha Ratna, 2012:53). Metode deskriptif analisis digunakan karena yang dikaji
dalam teks sastra merupakan kejadian sosial masyarakat dan untuk mengaitkan
hubungan antara individu ( si pelaku) dengan kondisi sosial masyarakatnya
(Kutha Ratna, 2012: 59). Oleh sebab itu, analisis isi harus mampu melihati isi
konteks sebuah karya sastra berdasarkan konteks (situasi sosial dimana sebuah
karya sastra di produksi), proses ( bagaimana sebuah karya sastra di produksi)
serta emergence, yaitu sebuah proses pembentukan secara gradual sebuah
pesan melalui sebuah intepretasi (Burhan, 2004: 144-147)
Data dalam
penelitian ini adalah teks narasi sepuluh cerita pendek yang terdapat dalam
Kumpulan Cerpen Bertanya Kerbau pada Pedati
karya A.A Navis. Sedangkan sumber datanya adalah kutipan kalimat, pernyataan,
paragraf dalam buku kumpulan cerpen tersebut yang mengambarkan nilai kearifan
lokal untuk penguatan pendidikan karakter. Teknik
analisis data yang akan digunakan dalam penelitian ini menggunakan analisis
mengalir (flow model of analysis),
yang dikembangkan oleh Mattew dan Huberman, terdiri dari empat komponen sebagai
berikut.
1.
Pengumpulan data,
yaitu proses awal penelitian, dengan mengumpulkan data seakurat dan sedetail
mungkin. Pengumpulan data dilakukan dengan membaca secara keseluruhan isi buku tersebut.
2.
Reduksi data dengan cara membuat
ringkasan dari masing-masing
cerita pendek
3.
Membuat analisis secara deskriptif
sesuai pokok permasalahan pada tiap-tiap
cerpen dengan pendekatan sosiologis
4.
Penarikan kesimpulan.
Proses ini dilakukan bersifat terbuka dan skeptis, jadi kesimpulan masih
bersifat sementara dan tidak menutup kemungkinan akan muncul kesimpulan
berikutnya secara eksplisit dan berlandaskan kuat (Milles, 1992:18).
Pengecekan keabsahan data dilakukan secara konfrimabalitas
(mengkonfirmasikan) data dan analisa sebelum ditarik sebagai kesimpulan dan
temuan. Konfirmablitas dilakukan melalui proses triangulasi dengan cara memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu
untuk keperluan pengecekan atau pembanding terhadap data (Moleong,
2009: 330) .
HASIL DAN PEMBAHASAN
A.
Hasil
Ringkasan Isi Kumpulan Cerpen
Kumpulan cerpen Bertanya Kerbau pada Pedati ini
berisikan 10 cerpen, yaitu (i) Dokter dan Sang Maut, (ii) Sebelum
Pertemuan Dimulai, (iii) Pemburu dan Srigala, (iv) Angkatan 00,
(v) Kucing Gubernuran, (vi) Kuda itu Bernama Ratna, (vii) Bertanya
Kerbau pada Pedati, (viii) Malin Kundang, Ibunya Durhaka, (ix) Pendekar
dan Ayam Jago, dan (x) Kaus Kaki. Kesepuluh cerpen tersebut beberapa
diantaranya memiliki kaitan kehidupan budaya masyarakat Minangkabau di Sumatera
Barat sebagai setting sosial
cerita. Cerita Dokter dan Sang Maut, menceritakan tentang percakapan
seorang dokter dengan sang Maut atau Malaikat Maut, yang sedang melaksanakan
tugasnya untuk mencabut nyawa dokter. Akan tetapi, dengan kepintarannya, dokter
tersebut berupaya untuk menunda-nunda kematiannya dengan berbagai macam alasan
dan argumentasi. Akan tetapi, Sang Maut dengan telaten melayani adu argumen
dengan dokter sembari menunjukkan beberapa fakta sebaliknya, yang pada akhirnya
tanpa disadarinya ternyata sang dokter bisa menyadari dan menerima kematian
dirinya yang memang sudah pada waktunya. (hlm. 3-24)
Sedangkan cerpen sebelum pertemuan di mulai
menceritakan tentang rapat para tokoh pemimpin besar dunia di alam barzakh
yang dipimpin oleh Mahatma Gandhi, didampingi oleh sekretaris Chairil Anwar.
Rapat ini diikuti oleh tokoh pemimpin besar dunia seperti Hitler, Stalin,
Lenin, Mussolini, Weizman (pendiri Zionisme) Gandi. Selain itu juga ada seniman
seperti Pablo Picasso dan Marlyin Monroe. Inti dari cerpen ini adalah perdebatan
dan adu gagasan, perdebatan dan persaingan para tokoh tidak hanya terjadi di dunia
tapi tetap terus berlanjut di alam barzakh (hal 27-44). Selanjutnya, cerpen
pemburu dan srigala menceritakan kehidupan seorang pemburu yang senantiasa
sombong dan menyombongkan diri pada orang lain, padahal dia tidak memiliki
kekuatan apa-apa. Akhirnya sang pemburu ini harus mati dimakan serigala. (hlm. 47-56)
Cerita Angkatan 00 mengisahkan tentang generasi
angkatan 00 yang merasa lebih baik dari generasi sebelumnya dan bisa memimpin
negara tersebut. Cerita ini terinspirasi dari proses pergantian rezim orde lama
ke orde baru yang melahirkan angkatan 66, dimana angkatan 66 merasa lebih mampu
ketimbang angkatan lama. Sejarah terulanag kembali, angkatan 66 orde baru
digantikan oleh angkatan 98 orde reformasi yang menganggap diriya lebih baik
ketimbang angkatan 66. Begitu juga seterusnya. (hlm. 59-72)
Kucing Gubernuran sebuah cerita yang sarat simbol,
dimana kucing sebagai pembasmi tikus (koruptor) pada akhinya harus tersingkir
bahkan ikut menjadi korban kebijakan sang gubernur yang tidak tahu bagaimana
cara berterima kasih kepada kucing. Kucing yang sudah berjasa ikut memberantas
korupsi, pada akhir hayat gubernur menjadi tersingkir dan terkalahkan. (hlm. 75-82)
Pada cerpen Kuda itu bernama Ratna menceritakan
tentang seorang Rajo Sutan, penggemar kuda dan sangat menjunjung tinggi
martabat kuda. Kuda adalah sebuah lambang atau simbol tentang seorang hewan
yang telah banyak memberikan jasa. Seekor Kuda diberi nama Ratna yang artinya
batu pertama tak ternilai harganya. Seiring dengan perkembangan zaman dan
kemajuan teknologi, peran kuda digantikan oleh teknologi. Kuda mulai dilupakan
orang karena sudah ada penggantinya (hlm. 85-93). Untuk cerpen Bertanya Kerbau Pada
Pedati mengisahkan tentang seekor kerbau yang terus menerus harus menerima dan
melaksanakan beban berat setiap harinya menarik pedati. Akan tetapi karena dia
hanya seekor hewan yang harus taat melayani majikannya, mau tidak mau dia harus
patuh, hingga pada satu hari kerbau itu memberontak dengan melepaskan ikatan
talinya dan berlari meninggalkan gerobak pedatinya. Setting sosial cerpen ini
adalah penjajahan zaman jepang, sehingga memiliki korelasi dan setting sosial
cerpen tersebut. (hlm. 97-107)
Cerpen Malin Kundan dan Ibunya Durhaka, mengisahkan
sosok Malin Kundang, yang kalau dalam cerpen aslinya digambarkan sosok ibunya
yang baik dan anaknya yang nakal dan durhaka. Tapi kalau dalam cerpen ini, yang
bersalah dan durhaka justru ibunya Malin Kundang (hlm. 111-117). Pada cerpen pendekar dan ayam
jago menceritakan tentang pendekar sungsang yang gemar melakukan adu ayam jago.
Pendekar sungsang merasa dirinya hebat. Hobinya melakukan adu ayam jago tanpa
merasa apakah ayamya kesakitaan atau tidak. Kondisi kemudian berbalik arah.
Pendekar sungsan berubah menjadi ayam dan ayam jago tersebut menjadi manusia.
Mereka tetap melakukan kebijakan yang salah dan melakukan balas dendam terhadap
perlakuan sebelumnya (hlm. 121-128).
Terakhir cerpen kaos kaki menceritakan tentang kaos kaki busuk yang dimiliki
mahasiswa bernama karatang yang meski sudah dibuang akan tetap kembali ke orang
tersebut. (hlm. 131-137)
B. Pembahasan
1.
Nilai Karakter pada Kearifan
Lokal
Kumpulan cerpen Bertanya Kerbau pada Pedati ini sarat dengan penanaman nilai-nilai karakter yang bersumber pada kearifan lokal masyarakat Minangkabau. Penulis AA Navis menggunakan lambang benda atau binatang sebagai sebuah
metafora, meskipun yang dimaksud adalah manusia dan lingkungan sekitarnya.
Selain itu juga, dialek bahasa yang digunakan, memakai istilah bahasa
Minangkabau seperti arkian, bako, berjongkangan, digundar,
dilapah, lapau, merumuk, nini mamak dan lainnya. Dari 10 kumpulan cerpen di dalamnya, ada dua cerpen yang sangat menonjol nilai kearifan lokal, yaitu cerpen Bertanya Kerbau pada Pedati dan Malin Kundang. Pada
cerpen Bertanya Kerbau pada Pedati dengan setting sosial
masa kolonial Jepang tahun 1940-an. Nilai kearifan lokalnya adalah kebudayaan
masyarakat lokal tentang atap rumah gadang yang mirip dengan tanduk kerbau atau
kabau dalam bahasa Minang. Asal mula tanduk kerbau atau kabau
pada rumah gadang berasal dari kepercayaan masyarakat yang menganggap hewan
kerbau sebagai hewan keramat. Ketika itu ada kepercayaan menanam kepala kerbau
pada tiap atap bangunan agar bangunan selamat dari bencana. Atau kepala kerbau
digantungkan di bagian rumah agar rumah itu selamat dari mara bahaya. Rumah
gadang diberi tanda atap melengkung seperti tanduk kerbau. Sedangkan kaum
perempuannya melipat selendang kebesarannya hingga berbentuk tanduk.
Selendang tersebut selanjutnya diberi nama tengkuluk tanduk (AA. Navis,
2009:98).
Adapun nilai karakter yang
terdapat dalam cerpen Bertanya Kerbau pada Pedati adalah nilai
keberanian untuk melakukan perlawanan ketika dalam posisi tertindas. Karena
cerpen ini dibuat dalam konteks penjajahan, maka kerbau yang diibaratkan
sebagai rakyat Indonesia, jika sudah dihina dan disiksa secara fisik dan
mental, maka mau tidak mau harus mendobrak, melakukan perlawanan. Oleh sebab
itu, nilai karakter yang ditekankan dalam cerita ini adalah keberanian. Nilai
karakter nasionalis dalam konteks penjajahan zaman jepang, seperti
tergambar dalam cerita analogi lakonnya yaitu kerbau, tukang pedati, dan istri
tukang pedati. Kerbau merupakan penggambaran rakyat yang ditindas. Pedati
gambaran rakyat yang ditindas dan melakukan perlawanan, tukang pedati mewakili
karakter penjajah, dan istri atau selir tukang pedati, menggambarkan orang pribumi
perempuan Indonesia yang memihak kepada penjajah. Nilai karakter nasionalis yang dianalogikan
pada seekor kerbau dan pedati pada cerpen tersebut dengan melakukan
pemberontakan dengan cara lari sekuat tenaga, melepaskan diri ikatan tali yang
mengekangnya, karena tidak kuat menanggung beban penderitaan. Lari untuk
mendapatka kebebasan dari kekangan, tindakan kekerasan, dan eksploitasi dari
tukang pedati.
Sedangkan nilai
kearifan lokal dalam cerita Malin Kundang Ibunya Durhaka menceritakan
tentang sosok anak yang ketika sukses di rantau teringat kembali pulang ke kampung
halamannya. Nilai kearifan lokal, yaitu budaya merantau sangat kuat di
masyarakat Minangkabau. Anak laki laki yang sudah beranjak remaja harus merantau keluar dari
kampung halamannya, untuk mencari ilmu, mencari pengalaman hidup. Dengan
merantau, akan membuat seorang anak menjadi lebih tangguh, kuat dan kaya
pengalaman. Budaya merantau terjadi pada masyarakat matrilineal dimana garis
keturunan berasal dari ibu. Nilai kearifan lokal, yaitu budaya merantau diiringi
dengan pesan nilai karakter, yaitu berbakti kepada orang tua. Bagaimanapun kondisi orang
tua kita, harus kita akui bahwa itulah orang tua yang telah mendidik dan
membesarkan kita. Meskipun dalam cerpen ini digambarkan ibunda Malin Kundang
yang durhaka, akan tetapi pesan moralnya tetaplah seorang anak harus
menghargai, menghormati dan menyayangi orang tuanya, apapun dan bagaimanapun
kondisinya. Hendaknya kesuksesan kita selama di rantau, tidak membuat kita lupa
diri terhadap asal usul masa lalu kita.
Cerpen Dokter
dan Sang Maut lebih mengedepankan nilai karakter religiousitas, yaitu
perlunya seseorang ingat akan kematian. Popularitas, kekayaan, kepintaran
menjadi terputus dan tidak berguna lagi ketika ajal maut sudah menjemput. Pada cerpen
ini, nilai karakter religiousitas sangat ditekankan yaitu agar seseorang siap
menghadapi kematian kapanpun dan dimanapun. Oleh sebab itulah, perlu bekal
sebaik-baiknya sebelum
ajal maut menjemput. Dalam cerita ini, nilai kearifan lokal didalamnya sudah terdapat budaya
masyarakat tentang kesehatan dengan menggunakan tenaga medis.
Untuk cerpen Sebelum
Pertemuan Dimulai, nilai karakter perlunya saling menghormati dan
menghargai berbagai pendapat orang dalam sebuah forum bersama. Kita boleh tidak
setuju dan beda pendapat, tapi tetap harus bisa menghormati pendapat yang
berbeda dan mampu mengendalikan diri. Untuk cerpen Pemburu dan Srigala
menceritakan tentang seorang pemburu hewan yang kemudian harus mati oleh hewan
buruannya. Pemburu merasa dirinya sosok
yang kuat dan perkasa, sehingga merasa tidak butuh bantuan orang lain. Sedangkan
nilai karakter yang terkait
adalah larangan untuk
menyombongkan diri karena sejatinya tidak ada kekuatan paling tinggi. Setiap
orang dilarang merasa hebat dan kuat, dia pasti menjadi lemah dan tidak berdaya
dengan kekuatan yang dimilikinya ketika ada ancaman yang lebih besar. Disinilah,
kita perlu belajar untuk lebih rendah hati dan lebih peduli kepada yang lain.
nilai kearifan lokal saat itu munculnya tradisi berburu binatang rusa di
masyarakat.
Sedangkan
cerita Angkatan 00 menceritakan tentang proses transisi bangsa Indonesia
dari era orde lama ke orde baru. Nilai karakter dalam cerpen ini bahwa tiap
orang atau kelompok tidak ada yang sempurna, akan tetap mereka pernah berjasa
pada masanya. Generasi berikutnya harus bisa mengambil pelajaran dari generasi
sebelumnya. Jangan mengulang kesalahan dan kebodohan yang sama yang dilakukan
generasi sebelumnya.
Sedangkan nilai
karakter dalam cerpen Kucing Gubernur, menggambarkan nilai-nilai
kesetiaan, loyalitas seorang hewan terhadap tuannya (sang gubernur). Pesan
nilai karakter yang sangat kuat didalamnya, yaitu hendaklah kita harus
pandai-pandai memilih
teman. Jangan sekali-kali kita menyingkirkan kawan yang sudah berjasa kepada
kita selama ini, dan sebaliknya malah merangkul musuh teman yang justru selama
ini menjadi parasit atau musuh kita. Hewan tikus disimbolkan sebagai lawan
koruptor, sedangkan kucing adalah aparat penegak hukum. Kucing akan
selalu mencari dan memangsa tikus karena dialah si maling padi. Koruptor akan selalu
jadi target aparat penegak hukum karena dialah pencuri uang negara.
Untuk cerita
cerpen Kuda itu Bernama Ratna, menerangkan nilai karakter pentingnya
menjaga sesuatu barang berharga dan pernah berjasa dalam hidup kita. Jangan
pernah melupakan sejarah bahwa ada pihak pihak yang lain selama ini membantu
kesuksesan kita. Jangan sampai terjadi habis manis sepah dibuang. Melupakan
orang yang sudah dianggap tidak berguna, padahal orang itu pernah menjadi
bagian penting dalam hidup kita. Dari cerpen ini, kita bisa mengetahui kearifan
lokal masyarakat saat itu kebiasaan memelihara kuda sebagai hewan tunggangan,
serta menjadi hewan yang menunjukkan kelas sosial pemiliknya.
Adapun dua
cerita terakhir yaitu Pendekar dan Ayam Jago, serta kaus kaki ,
menekankan pentingnya nilai karakter kepada siswa untuk tidak sombong. Pendekar
dan Ayam Jago mengisahkan seorang pendekar yang sombong, suka adu ayam jago. Ia
tidak peduli meski ayamnya dalam keadaan sakit, tetap dipaksa bermain adu ayam
jago. Suatu saat terjadi sumpah tukar posisi. Pendekar Sungsang jadi ayam jago ,dan
ayam jago menjadi pendekar. Pendekar
sungsang yang sudah menjadi ayam jago,
di perlakukkan secara kasar dan sadis oleh ayam jago yang sudah berubah jadi
pendekar. Pesan moralnya adalah kesombongan akan dibalas dengan kesombongna
pula bahkan lebih parah. Selama kita berkuasa hendaknya tidak bersifat adigung
adiguna, sok berkuasa untuk menindas mereka yang lemah. Ketika kekuasaan itu
dipergilirkan seperti roda berputar, maka orang yang dulunya lemah dan kin
berkuasa, mereka juga akan menindak tegas bersikap keras kepada kita yang dulu
berbuat dzalim. Inilah lingkaran setan kekerasan sistemik.
Terakhir cerita
kaos kaki memiliki nilai karakter tentang perlunya kita berbuat dan melakukan
yang terbaik untuk orang lain. Apa yang kita tanam itulah yang akan kita panen.
Semua perbuatan yang kita lakukan, maka balasannay akan kembali ke kita
sendiri. Itulah hukum karma yang berlaku. Semua perbuatan baik dan buru pasti
ada balasannya.
Nilai karakter
pada Kearifan Lokal
Kumpulan Cerpen
Bertanya Kerbau pada Pedati
Judul Cerpen
|
Nilai
Kearifan Lokal
|
Nilai
Karakter
|
Bahan Bacaan Tingkat MI/MTs/MA
|
Dokter dan Maut
|
Budaya kesadaran kesehatan medis masyarakat dan penghormatan
terhadap profesi dokter
|
Religousitas, keimanan, keikhlasan
|
Cerita ini relevan untuk siswa MA dalam
menumbuhkan nilai karakter religiositas
|
Sebelum Pertemuan Dimulai
|
Tidak ada karena ini kisah tentang perisitwa di dunia lain
|
Kebersamaan, keragaman, toleransi, saling menghargai. Juga
karakter religiositas terkait peristiwa setelah kematian
|
Kisah ini sesuai untuk siswa MA yang
diharapkan mampu mengidentifikasi nilai nilai religiositas
|
Pemburu dan Srigala
|
Tradisi berburu hewan
|
Dilarang Sombong, ikhlas , rendah hati, di atas langit masih ada langit, ada
kekuatan dan kekuasaan di atas
kita yang lebih tinggi
|
Kisah ini relevan untuk siswa MI dan MTs dalam
membentuk karakter religiositas melalui cerita dengan metafora binatang
|
Angkatan 00
|
Situasi transisi negara dari orde lama ke orde baru
|
Setiap manusia ada masanya, harus berjiwa besar, siklus kehidupan terus
berjalan, yang lama digantikan yang baru begitu juga seterusnya
|
Kisah ini lebih tepat untuk siswa MA yang
sudah memiliki kemampuan berpikir mandiri dan analisis dalam melihat peristiwa
sejarah, dan membentuk nilai karakter nasionalisme
|
Kucing Gubernuran
|
Tradisi memelihara hewan piaraan
|
Loyalitas, ketaatan, kepatuhan, kesetiaan, balas budi, integritas
|
Kisah ini bisa model penanaman karakter
untuk siswa MA dalam penanaman karakter integritas (anti korupsi)
|
Kuda itu Bernama Ratna
|
Hewan kuda sebagai hewan piaraan untuk menggantikan akses
transportasi publik, serta kuda sebagai identitas kelas sosial pemiliknya
|
Penilaian produk barang berharga dengan menjaga kualitas dan
kuantitasnya, peduli terhadap mereka yang berjasa membantu kita
|
Kisah ini relevan dengan siswa MI dan MTs
untuk penanaman karakter integritas, menggunakan metafora cerita binatang
|
Bertanya Kerbau pada Pedati
|
Lingkungan masyarakat pedesaan yang masih sederhana, gotong
royong, dan lainnya
|
Humanisme kemanusiaan, cinta lingkungan termasuk terhadap mereka
yang berbeda dengan kita
|
Kisah ini lebih tepat untuk siswa MI dan
MTs dalam penanaman nilai karakter kerjasama, gotong royong
|
Malin Kundang, Ibunya Durhaka
|
Budaya merantau masyarakat Minangkabau
|
Cinta kasih sayang orang tua kepada anak, begitu juga sebaliknya,
integritas dan religiousitas
|
Kisah ini utuk siswa MTs dan MA dalam
penanaman karakter religiositas, siswa juga bisa mengidentifikasi dan
membandingkan nilai yang ada dalam cerita dengan realitas sosial
|
Pendekar dan Ayam Jago
|
Kultur adu ayam jago di masyarakat
|
Jangan berlaku sombong, tidak ada yang kekal di dunia ini. Adakalaya
posisi nasib manusia kadang diatas kadan dibawah. Kerjasama dan membangun
hubungan baik dengan siapapun
|
Kisah cerita ini lebih tepat untuk siswa
MI, MTs dalam membangun nilai karakter religiositas melalui perbandingan dua
tokoh pendekar dan ayam jago
|
Kaus Kaki
|
Situasi transisi negara peraliha dari orde baru ke orde reformasi
|
Ketulusan, keikhlasan. Lakukan segala sesuatu dengan sebaik
mungkin. Apa yang kita tanam, itu yang kita panen.
|
Kisah ini relevan untuk siswa MTs dan MI
dalam penanaman nilai karakter nasionalisme
|
2.
Penguatan Karakter Siswa Melalui
Kearifan Lokal
Nilai karakter utama yang terdapat
dalam kumpulan cerpen Bertanya Kerbau pada Pedati adalah nasionalis,
religousitas, integritas dengan sub nilai karakter rasa cinta tanah air, kerjasama, dan gotong royong.
Nilai karakter nasionalisme sangat terlihat pada cerpen Angkatan 00, Bertanya
Kerbau pada Pedati,
dan Kaus Kaki. Angkatan 00 mengedepankan nilai-nilai nasionalisme siswa terkait
sejarah perjalanan bangsa pada masa transisi dari orde lama ke orde baru.
Cerpen Bertanya Kerbau pada Pedati mengandung semangat nasionalisme
perlawanan kolonial pada masa penjajahan Jepang. Sedangkan cerpen Kaus Kaki, menekankan semangat
nasionalisme pada saat Indonesia berada pada masa reformasi, transisi dari orde
baru ke orde reformasi.
Penguatan nilai
karakter nasionalisme kepada tiga cerpen tersebut bisa juga dikaitkan dengan
mata pelajaran lain seperti PKn, IPS, Sejarah dan Bahasa Indonesia.
Hal ini karena konteks sosial dalam cerita tersebut serta nilai-nilai karakter
nasionalisme memiliki relevansi dengan beberapa mata pelajaran
tersebut. Nilai karakter nasionalis dalam konteks penjajahan zaman Jepang seperti
tergambar dalam cerita analogi lakonnya yaitu kerbau, pedati, tukang pedati,
dan istri tukang pedati. Kerbau merupakan penggambaran rakyat yang ditindas.
Pedati gambaran rakyat yang ditindas dan melakukan perlawanan, tukang pedati
mewakili karakter penjajah, dan istri atau selir tukang pedati, menggambarkan
orang pribumi perempuan Indonesia yang memihak kepada penjajah. Nilai karakter nasionalis yang dianalogikan
pada seekor kerbau dan pedati pada cerpen tersebut dengan melakukan
pemberontakan dengan cara lari sekuat tenaga, melepaskan diri ikatan tali yang
mengekangnya, karena tidak kuat menanggung beban penderitaan. Lari untuk
mendapatka kebebasan dari kekangan, tindakan kekerasan, dan eksploitasi dari
tukang pedati.
Sedangkan nilai
karakter nasionalisme pada cerpen Angkatan 00 dan Kaus Kaki mengedepakan
tentang proses transisi dan tranformasi dari orde lama ke orde baru. Siswa
diharapkan dapat gambaran, pengetahuan dan pemahaman tentang semangat
nasionalisme dari ketiga cerpen di atas. Sedangkan nilai karakter
dalam cerpen Kaus Kaki, menggambarkan konteks sosial demonstrasi besar besaran dalam era
reformai mengiringi perjalanan bangsa dari orde aru menuju era demokratis.
Karakter
religiousitas dan integritas pada cerpen Sebelum Pertemuan di Mulai, Dokter
dan Sangt Maut, serta Malin Kundang perlu ditanamkan kepada siswa
sehingga siswa memiliki kesadaran transendetal, mampu melaksanakan ajaran
agamanya masing masing, kesadaran akan pentingnya hari kematian, bersikap
toleran dan mengharga perbedaan terhadap sesama. Untuk cerpen Pendekar dan
Srigala, Kucing Gubernuran, Kuda itu bernama Ratna, Pendekar
dan ayam jago sangat mendorong dan mengedepankan karakter integritas,
kerjasama dan gotong royong. Penguatan kelima nilai karakter melalui pengajaran
sastra akan menunjang meningkatan mutu dan kualitas siswa, tidak hanya dalam
kegiatan proses belajar tapi juga bisa dilakukan melalui pembinana kegiatan ekstrakurikuler
dan pembinaan kesiswaan.
3.
Apresiasi Pengajaran Sastra dalam Penguatan
Karakter Siswa
Apresiasi pengajaran sastra pada kumpulan cerpen Bertanya
Kerbau pada Pedati karya
A.A.Navis mengacu kepada enam
tahapan pendekatan seperti dalam teori Moody, maka yang harus dilakukan oleh
guru sebelum mengajarkan sastra buku ini, dalam tahapan awal (pelacakan) seorang
guru harus membaca beberapa pengetahuan terkait isi cerpen tersebut berupa buku
tentang budaya masyarakat Minangkabau dan sejarah Sumatera Barat, buku sejarah
masa penjajahan Jepang, sejarah kondisi politik orde lama dan orde baru, hukum,
sosial budaya dan sejarah reformasi, buku para tokoh pemimpin dunia serta buku-buku
terkait keagamaan. Guru juga
harus mengetahui tentang profil pengajarang A.A Navis dan karya-karya
terdahulu. Hal ini sangat penting karena
guru akan mengetahui gaya bercerita
pengarang serta pesan-pesan moral yang secara umum ada pada karyanya. Alasan
lainnya, kumpulan sepuluh cerpen karya
AA. Navis sebagian menceritakan kondisi masyarakat Minangkabau di Sumatera
Barat, seperti cerpen Bertanya Kerbau pada Pedati dan Malin Kundang
Ibunya Durhaka. Cerpen Angkatan 00, Kaos Kaki, Sebelum Pertemuan Dimulai terkait tema-tema sejarah dan pemikiran para
tokoh dunia. Cerpen Dokter dan Sang
Maut untuk tema-tema keagamaan (religiositas), Kucing Gubernuran
tentang masalah hukum dan korupsi, serta Pemburu dan Srigala, Pendekar
dan Ayam Jago terkait masalah-masalah sosial budaya yang sering kita hadapi dalam keseharian.
Ketika guru sudah memiliki pengetahuan (stock of
knowledge) yang mendukung penguasaan isi cerita kumpulan cerpen, maka akan
memudahkan bagi guru untuk merumuskan strategi penyampaian (tahap kedua penentukan sikap praktis) dan
memberikan informasi awal kepada siswa tentang sekilas isi cerpen serta
pengetahuan yang berkaitan dengan isi cerpen tersebut (tahap ketiga introduksi atau pengantar). Pada saat tahapan empat, yaitu penyajian, guru bisa
membagi murid menjadi 10 kelompok sesuai jumlah cerpen. Selanjutnya guru
meminta masing-masing kelompok untuk membaca isi cerpen sesuai jumlah yang ada,
dan meminta mereka membahas apa yag menjadi temuan pokok cerpen tersebut dari
segi isi cerpen itu, konteks sosial yang menjadi latar isi cerpen itu, pesan
nilai kearifan lokal yang bisa digali dari cerpen, nilai karakter yang bisa
diambil dan diterapkan oleh siswa, serta bagaimana perasaan siswa setelah
membaca cerpen.
Pada tahapan diskusi, guru meminta masing masing
kelompok untuk mempresentasikan hasil
diskusi kelompok sesuai temuan
pokok bahasan di atas. Guru meminta kelompok lain untuk menanggapi, menyanggah,
menambahkan, menyempurnakna hasil diskusi kelompok temannya. Presentasi
dilakukan secara bergiliran sampai kesepuluh kelompok siswa selesai
mempresentasikan hasil diskusinya. Terakhir, pada tahap pengukuhan, guru
memberikan sebuah kesimpulan umum yang
lebih menyeluruh terhadap sepuluh cerpen tersebut, dan mengaitkannya dengan
nilai karakter dan kearifan lokal yang terdapat dalam sepuluh cerpen. Untuk semakin mengukuhkan hasil apresiasi
sastra tiap siswa terhadap cerpen yang
sudah dibacanya, guru meminta beberapa siswa tampil ke depan menyampaikan
testimoni tentang perasaan setelah membaca cerpen tersebut, dan pengaruhnya bagi
diri siswa. Guru juga bisa memberikan PR bagi siswa untuk membuat essay
tulisan yang berisikan tentang kritik sastra yaitu tanggapan , komentar, saran
dari siswa terhadap cerpen yang dibacanya.
Simpulan dan Saran
Simpulan
1.
Nilai karakter yang terdapat dalam kumpulan cerpen Bertanya
Kerbau pada Pedati
adalah nilai nasionalisme,
integritas, kerrjasama, dan gotong royong. Nilai karakter ini terdapat pada
inti pada kesepuluh cerpen yang menggambarkan realitas kondisi masyarakat Indonesia dengan beragam
karakternya.
2.
Bentuk penguatan nilai karakter siswa melalui kearifan lokal yang
terdapat dalam cerpen Bertanya Kerbau Pada Pedati yaitu nilai karakter
nasioanslime, religiousitas bisa diintegrasikan dengan mata pelajaran PPkn dan Pendidikan
Agama, serta melalui kegiatan ekstrakurikuler, co kurikuler dan pembinaan
kesiswaan
3.
Apresiasi pengajaran sastra oleh siswa terhadap kumpulan cerpen Bertanya
Kerbau pada Pedati bisa dilakukan dengan mengacu kepada teori Moody melalui
enam tahapan apresiasi sastra, akan membawa pengaruh postif bagi siswa untuk
bisa memahami kekayaan budaya masyarakata Indonesia yang berasal dari
Minangkabau, Sumatera Barat. Nilai kearifan lokal pada masyarakat yang terdapat
pada cerpen tersebut bisa memperkuat karakter siswa pada nilai karakter
nasionalisme, religiositas, integritas, kerjasama dan gotong royong.
Saran
Hasil
penelitian ini diharapkan bisa melengkapi beberapa kajian apresiasi sastra
lainnya dalam rangka penguatan nilai karakter berbasiskan kearifan lokal kepada
siswa. Para siswa yang membaca sastra mampu
memahami, memaknai dan menghayati pesan pesan karakter dalam kumpulan cerpen
tersebut untuk diterapkan dalam kehidupan sehari hari.
DAFTAR PUSTAKA
Asuncion-Lande, N.C. 1990. “Intercultural
Communication”. In G. L. Dahnke
sand G.W. Clatterbuck (eds). “Human Communication
theory: Theory and Research”. Wadsworth, Belmont, California
Buku
Pedoman Penguatan Pendidikan Karakter, diterbitkan Kemendikbud. 2016
Bungin,
Burhan, 2004. Analisis Penelitian Data Kualitatif. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Hariadi. 2011. Peran Sastra dalam
Pembentukan Karakter Bangsa. Yogyakarta: Jurnal.
Levitt, Kathryn M.Anderson.
2003. “Local Menaing, Global Schooling”. New york: Palgrave MacMillan.
Lexy J. Moleong.
2009. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Mangunwijaya, YB. 1992. Sastra
dan Religousitas. Yogyakarta: Kanisius.
Miles, Matthew B.
dan A. Michael Huberman. 1992. Analisis
Data Kualitatif: Buku Sumber Tentang Metode-metode Baru. Jakarta: UI Press.
Moody, H. 1971. The Teacher of
Literature. London: Longman.
Navis,
A.A. 2009. Kumpulan Cerpen Bertanya Kerbau pada Pedati. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Nugiantoro,
Burhan. 2012. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta:Gajahmada University Press.
Oemarjati, Boen S. 1992. Dengan
Sastra Mencerdaskan Siswa: Memperkaya Pengalaman dan Pengetahuan. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan.
Ratna,
Nyoman Kutha. 2012. Penelitian Sastra: Teori Metode dan Teknik.
Yogyakarta Pustaka Pelajar
Reading,
Hugo F. 1986. Kamus Ilmu Sosial. Jakarta:
Rajawali.
Rusyana,
Yus. 1984. Metode Pangajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius.
Sardjonoprijo,
Petrus 1982. Psikologi Kepribadian: Jakarta: Rajawali.
Sumarjo,
Jakob. 1988. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: PT Gramedia.
Suryo,
Muhammad, 2005. Pendidikan Hoslitik
Berbasis Nilai dan Etika dalam Pembentukan Citra Manusia. Makalah disampaikan dalam Rembug nasional
pembentukan citra manusia Indonesia tanggal 13 September 2005. Depari, Jawa
Tengah.
UU
No. 20 tahun 2001
tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar