Rabu, 17 Januari 2018

Jurnal tentang Pendidikan Karakter melalui Sastra




NILAI KARAKTER PADA KEARIFAN LOKAL
DALAM KARYA SASTRA:
Apresiasi Sastra dalam Kumpulan Cerpen
Bertanya Kerbau pada Pedati


Fawziah, S.S.
Widyaiswara Pusdiklat Teknis Pendidikan Agama dan Keagamaan
Badan Litbang Dan Diklat Kementerian Agama RI

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai karakter pada kearifan lokal dalam karya sastra yang terdapat dalam kumpulan cerpen Bertanya Kerbau Pada Pedati, Karya A.A. Navis. Permasalahan utama adalah apa saja nilai karakter pada kearifan lokal yang terdapat dalam kumpulan cerpen karya AA Navis, dan bagaimana apresiasi pengajaran sastra untuk menguatkan nilai karakter tersebut kepada siswa. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Sumber data primer adalah cerpen-cerpen yang terdapat dalam kumpulan cerpen Bertanya Kerbau pada Pedati. Analisa data menggunakan deskriptif analitif yang berawal dari pengumpulan data, validasi data, reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa buku kumpulan cerpen Bertanya Kerbau pada Pedati memiliki pesan nilai karakter yang sangat kuat. Nilai karakter tersebut digali dari kearifan lokal masyarakat Minangkabau sebagai setting sosial dari cerita dalam cerpen. Hasil nilai karakter yang ditemukan dalam buku tersebut adalah karakter religiousitas, nasionalisme dan integritas. Penelitian ini juga memperlihatkan bahwa pengajaran sastra bisa menjadi medium yang tepat dalam penguatan penanaman nilai karakter kepada siswa dalam pendidikan di sekolah.

Kata kunci: pendidikan karakter, kearifan lokal, analisis isi, cerpen

Abstrac

This study aims to analyze the value of characters in local wisdom in literary works contained in a collection of short stories Asking  Buffalo on Pedati, Works A.A. Navis. The main problem is what are the character values ​​of local wisdom contained in AA Navis's short story collection, and how the appreciation of literary teaching to strengthen the value of these characters to students. This research uses qualitative method. Primary data sources are short stories contained in a collection of short stories Asking Buffalo on Pedati. Analyze the data using descriptive analytics that originated from data collection, data validation, data reduction, data presentation and conclusion. The results showed that the book collection of short stories Asking Buffalo on Pedati has a message a very strong character value. The value of these characters is extracted from the local wisdom of the Minangkabau community as the social setting of the story in the short story. The result of the character values ​​found in the book is the character of religiousity, nationalism and integrity. This research also shows that literary teaching can be a proper medium in strengthening the inculcation of character values ​​to students in school education..

Key Word: Character Eduction, local wisdom, conten analysis, short story



PENDAHULUAN
Pendidikan bukan sebuah proses transfer pengetahuan semata dari guru kepada siswa (intelectual an sich), tapi pendidikan juga merupakan proses penguatan nilai karakter siswa sebagai ruh terdalam atau inti sebuah pendidikan yang berdampingan dengan potensi intelektual. Salah satu sumber karakter adalah nilai kearifan lokal yang terdapat dalam cerita cerita yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat daerah tertentu pada pengajaran sastra. Kearifan lokal merupakan sebuah pengetahuan hasil proses adaptasi komunitas lokal dalam pengalaman hidupnya yang ditranformasikan secara turun-temurun, dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Nilai kearifan lokal ini digunakan oleh masyarakat setempat dalam proses interaksi sosial kehidupan  sehari-hari dengan alam dan lingkungan sosialnya, sebagai bagian dari mekansime untuk bertahan hidup. Kearifan lokal ini menyatu dalam sistem norma dan budaya yang diekspresikan dalam sistem budaya dan sistem sosialnya dan ditransmisikan melalui berbagai cerita-cerita berupa mitos, cerita, legenda, dalam jangka waktu yang lama serta dapat berbentuk babad, suluk, tembang,  hikayat, lontarak, dan berbagai cerita yang mewakili masyarakat lainnya.
Di antara cerita-cerita yang terdapat dalam masyarakat yang memiliki nilai kearifan lokal adalah cerita-cerita yang terdapat pada masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat. Minangkabau dikenal sebagai masyarakat dengan kebudayaan yang sangat religious dengan semboyannya adat basandi syara’ syara’ basandi kitabullah (adat bersendi agama dan agama berdasarkan kitabullah).  Cerita tentang masyarakat Minang atau cerita yang berlatar belakang masyarakat dan budaya minang cukup terkenal dan banyak, seperti kisah Siti Nurbaya, Malin Kundang, Robohnya Surau Kami, Bertanya Kerbau pada Pedati dan lainnya. Cerita-cerita tersebut sarat dengan nilai penguatan karakter siswa yang berbasis kepada kearifan lokal yang ada di Bumi Minangkabau. Salah satu  sastrawan Minangkabau yang terkenal dan sangat produktif menulis adalah Ali Akbar Navis atau yang dikenal dengan A.A Navis. Beberapa novel dan kumpulan cerpen yang terkenal, seperti Robohnya Surau Kami, Gerhana, Bianglala, Jodoh, Bertanya Kerbau pada Pedati, Kemarau, Hujan Panas Kabut Bumi dan lainnya.
Dari sekian banyak karya karya AA Navis, penulis ingin mengkaji kumpulan cerpen Bertanya Kerbau pada Pedati terkait dengan nilai karater pada kearifan lokal. Permasalahan yang ingin dikaji dalam penelitian ini adalah (i) apa nilai karakter pada kearifan lokal yang terdapat dalam buku kumpulan cerpen tersebut? (ii) bagaimana bentuk penguatan karakter siswa melalui kearifan lokal? (iii) bagaimana apresiasi pengajaran sastra dengan menggunakan buku tersebut untuk penguatan karakter siswa?. Untuk memperkuat analisa dalam penelitian ini, ada tiga kajian teori yang digunakan yaitu kearifan lokal,  pendidikan karakter dan apresiasi sastra dalam penguatan karakter.

1.      Nilai Karakter
Teori karakter merupakan struktur sifat dasar yang dimiliki manusia, yang berbeda satu sama lainnya (Hugo, 1986: 52 dan 297). Karakter juga memiliki aspek berupa tujuan yang dimiliki manusia dalam melakukan tindakannya. Tujuan disini terkait aspek etis hubungan manusia dengan yang lainnya, bagaimana mereka bekerjasama memenuhi norma-norma kesusilaan dari sisi baik dan buruknya (Petrus, 1982: 86-88).
Urgensi nilai karakter dalam pendidikan secara eksplisit disebutkan dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) bahwa Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman, dan bertakwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu,  cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara Indonesia yang demokratis dan bertanggung jawab . Tujuan pendidikan nasional tersebut kemudian di elaborasikan dalam PP No.  19 tahun 2005 tentang berbagai standar kompetensi yang harus dipenuhi beserta karakterya selain intelektualitas.
Pendidikan karakter sangat penting bagi siswa karena kesuksesan seseorang ketika terjun ke masyarakat tidak hanya ditentukan dari kemampuan tingkat intektual dan kemampun teknsi manajerial (hard skill) tapi juga kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill), seperti attitude, etika, respect, kerjasama, gotong royong,  integritas, kemandirian dan lainnya. Dalam buku Pedoman Pendidikan dan Penguatan Karakter yang diterbitkan oleh Kemendikbud, disebutkan ada lima nilai karakter -yang sudah diperas dari sebelumnya delapan belas karakter,-  yang  harus dimiliki oleh siswa, yaitu religiousitas, nasionalis, mandiri, integritas, dan gotong royong. Religousitas dengan sub nilai karakter, yaitu cinta damai, toleran, menghargai perbedaan, teguh pendirian, percaya diri, kerjasama antar pemeluk agama dan kepercayaan, anti bullying dan kekerasan, ketulusan, persahabatan, tidak memaksakan kehendak, mencintai lingkungan dan melindungi yang kecil dan tersisih. Nilai karakter nasioalis memiliki sub nilai karakter, yaitu apresiasia terhadap kekayaan budaya bangsa sendiri, menjaga kekayaan budaya bangsa, rela berkorban, unggul dan berprestasi, cinta tanah air, menjaga lingkungan, taat hukum, bersih, disiplin, menghormati keragaman budaya suku dan agama.   Karakter mandiri yang mendidik siswa untuk bersikap dan berprilaku tidak bergantung pada orang lain, tapi mengutamakan dan mengerahkan segala potensi kemampuan diri sendiri. Sub nilai karakter mandiri adalah etos kerja, tangguh, tahan banting, profesional, kreatif, berani, dan menjadi pembelajar sepanjang hayat. Nilai karakter integritas mendidik siswa untuk satunya kata dan perbuatan, bisa dipercaya dan memiliki komitmen kesetiaan terhadap nilai kemanusiaan. Nilai karakter gotong royong mendidik siswa untuk saling bahu membantu menyelesaikan masalah, menjalin komunikasi dan persahabatan serta memberikan pertolongan kepada mereka yang membutuhkan. Sub nilai karakter gotong royong adalah saling menghargai, kerjasama, inklusif, komitmen atas musyawarah bersama, musyawarah mufakat, tolong menolong, solidaritas, empati, anti diskriminasi, anti kekerasan, dan sikap kerelawanan (Kemendikbud, 2016: 8-9)

2.      Kearifan Lokal
Kearifan lokal berasal dari dua kata yang berbeda, yakni kearifan dan lokal. Kearifan (wisdom) bermakna pengetahuan yang berkenaan dengan penyelesaian suatu masalah untuk mewujudkan keseimbangan lingkungan dan keserasian sosial. Sedangkan istilah lokal berarti setempat (kawasan provinsi, kabupaten, atau desa). Ketika berbicara mengenai kearifan lokal yang terlintas di benak kita adalah sesuatu yang bersifat kelokalan/kedaerahan dan berasal dari jaman dahulu kala atau warisan nenek moyang. Memang benar bahwa kearifan lokal tidak bisa dipisahkan dengan suatu komunitas/daerah dimana kearifan lokal tersebut lahir dan berkembang. Kearifan lokal merupakan proses dan produk revitalisasi serta transformasi pengetahuan dan budaya, juga praktek-praktek adat. Tidak hanya itu kearifan lokal memungkinkan orang untuk menjadi lebih strategis dalam bernegosiasi ketika menghadapi arus globalisasi yang berupaya menyeragamkan umat manusia dalam berbagai aspek kehidupan. Berdasarkan pendapat Levitt terdapat  3 (tiga) hal penting tentang kearifan lokal, yakni: (1) bahwa kearifan lokal diciptakan oleh anggota komunitas/masyarakat itu sendiri; (2) menjadi panutan bagi anggota komunitas dalam menjalankan kehidupan sehari-hari; (3) kearifan lokal tidak dapat muncul begitu saja, tetapi merupakan hasil revitalisasi dan transformasi pengetahuan serta budaya (Levitt Anderson, 2003)
Kearifan lokal merupakan salah satu produk  budaya. Menurut Asuncion-Lande, kebudayaan sebagai sistem simbol bersama, keyakinan, dan praktik yang diciptakan oleh sekelompok orang  sebagai  mekanisme  adaptif  untuk  kelangsungan  hidup   dan perkembangan mereka dan kemudian ditransmisikan kepada generasi berikutnya sebagai bagian dari pengetahuan mereka. Sebagai sebuah produk budaya kearifan lokal dapat menjadi identitas komunitas / masyarakat yang membedakannya dengan komunitas / masyarakat lainnya, Setiap komunitas pasti memiliki identitas etnis yang khas sesuai dengan karakteristik masing-masing Ascunsion Lande, 1990)
Kearifan lokal dalam sebuah karya sastra biasanya sangat dipengaruhi oleh pengarangnya. Seperti karya sastra Umar Khayam dalam novel Para Priyayi satu dan dua (1999), Sapardi Djoko Damono dalam novel Suti (2015), Ahmad Tohari dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk yang sarat dengan nilai kearifan lokal masyarakat Jawa. Kumpulan Cerpen Robohnya Surau Kami dan Bertanya Kerbau pada Pedati karya AA Navis juga sarat dengan nilai kearifan lokal masyarakat Minangkabau. Munculnya nilai kearifan lokal dalam sebuah karya sastra, memperlihatkan bahwa sastra sebagai sebuah produksi seni tidak lepas dari konteks yang terjadi di masyarakat. Nilai kearifan lokal dalam sebuah karya sastra bisa memberikan sebuah rasa tersendiri bagi pembaca dalam mengkaji dan mendalami sebuah budaya yang berkembang di masyarakat.

3.      Apresiasi Sastra
Dalam penelitian ini, teori apresiasi sastra menggunakan teori Moody dalam bukunya yang terkenal The Teaching of Literature (1971). Menurutnya, sebelum melakukan apresiasi sastra, kita harus tahu prinsip sebuah sastra. Moody membagi dua prinsip penting dalam sastra, yaitu sastra sebagai sebuah pengalaman dan sastra sebagai sebuah bahasa. Sebagai pengalaman, karya sastra harus bisa dinikmati, dirasakan, dan dipikirkan. Oleh sebab itu, mengapresiasi sastra harus bisa membawa pengalaman baru dan pengaruh kehidupan bagi pembacanya. Sedangkan sastra sebagai bahasa, karena sastra menggunakan bahasa sebagai media komunikasi untuk menyampaikan pesan pesannya. Dengan demikian, sebuah karya sastra harus menyertakan unsur-unsur kebahasaan secara lugas, jelas, dan tuntas. Unsur kebahasaan itu misalnya ada pernyataan, ungkapan, nada, keterangan, perbandingan dan lainnya. Bagi guru pengajar sastra, harus mampu memahami unsur-unsur kebahasaan, seperti seluk bahasa dalam karya sastra dengan melakukan analisis secara verbal.
Menurut Moody (1971: 26) dalam apresiasi sastra, tugas guru hanya sebagai fasilitator, bukan pengantar siswa berpengalaman sastra. Siswa harus menentukan sendiri proses pengalaman sastranya. Moody menawarkan enam tahapan dalam proses apresiasi sastra, yaitu
1)      Pelacakan (pendahuluan)
Dalam tahap ini, guru harus membaca semua karya sasta secara cermat yang akan diajarkan kepada siswa. Guru  juga harus mencari informasi terkait fakta-fakta dalam sebuah karya sastra yang perlu penjelasan, sehingga dia mampu menjelaskan secara detil kepada siswa, termasuk juga berbagai pengetahuan penting yang dibutuhkan terkait dengan isi sastra. Selain itu, dalam tahap pelacakan ini, guru harus menentukan apa strategi dan metode pengajaran sastra yang tepat kepada siswa.

2)      Penentuan sikap praktis
Tahapan kedua ini, berkaitan dengan hal teknis dalam penyajian apresasi sastra guru dikelas. Guru harus menentukan informasi apa saja atau gambaran yang cukup yang bisa diberikan kepada siswa dalam mempelajari sastra yang sedang dipelajari. Guru juga harus menentukan tema-tema sastra yang tepat sesuai kapasitas siswa. Hal ini sangat penting agar proses pengajaran sastra tidak membosankan bagi siswa.

3)      Introduksi atau pengantar
Pada tahapan ini, seorang guru harus menjelaskan informasi awal dan singkat terkait karya sastra yang akan diajarkan. Informasi awal itu seperti identitas pengarang, karya-karyanya serta setting sosial masyarakat (kondisi sosiologis dan historis) yang ada dalam sastra tersebut. Hal ini sangat penting sehingga ketika siswa menerima pengajaran sastra, dia bisa langsung membayangkan atau mengimajinasikan dirinya larut dalam suasana yang terdapat dalam cerita tersebut

4)      Penyajian
Pada tahap penyajian ini, guru meminta siswa membaca secara langsung karya sastra yang akan dipelajari. Jika karya sastra terkait puisi, maka siswa yang harus membaca puisi tersebut. Begitu juga dengan satra lainnya, seperti cerpen atau novel. Tahapan penyajian ini sangat penting agar siswa bisa secara langsung mengetahui dan merasakan isi sastra tersebut dengan membacanya sendiri. Oleh sebab itu, dalam tahap ini guru harus menyiapkan ketersediaan bahan bacaan kepada siswa sesuai kebutuhan. Untuk puisi bisa dibaca secara langsung oleh siswa, tapi kalau cerpen atau novel karena ceritanya sangat panjang, maka bisa dibaca secara bergiliran dan bergantian. Karena pada tahapan penyajian, yang penting semua siswa ikut menikmati penyajian ini dengan semuanya bisa membaca karya sastra yang dipelajari.

5)      Diskusi
Pada tahapan ini guru meminta siswa memberikan feedback, tanggapan, komentar, kesimpulan terhadap isi karya sastra. Guru memberikan peluang dan kesempatan kepada siwa untuk mendiskusikan apa tema pokok dari karya sastra tersebut. Dalam tahap ini, hendaknya guru lebih irit bicara, banyak mendengar dan menjadi lebih bijaksana dalam menanggapi komentar dan kesimpulan dari siswa. Guru juga harus menghindari dan mencegah diskusi keluar dari jalur, dan tetap fokus kepada tema dan pokok bahasan sastra. guru mempersilahkan murid untuk mengambil kesimpulan sesuai yang mereka pahami.

6)      Pengukuhan 
Tahapan pengukuhan, guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengukuhkan pemahaman dan pengalaman siswa dalam mengapresiasi sastra yang telah dipelajarinya. Pengukuhan tersebut bisa dilakukan secara lisan maupu tulisan. Siswa mengukuhkan secara lisan, misalnya dengan memberikan kesempatan mereka tampil menceritakan apa yang mereka rasakan, pahami, dan hayati setelah membaca karya sastra tersebut. Sedangkan secara  tulisan, guru meminta kepada siswa untuk membuat essay tulisan yang isinya tentang pengalaman, pemahaman, dan penghayatan siswa setelah membaca sebuah karya sastra.

METODE PENELITIAN
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode deskirpitif analisis. Metode deskripitif analisis dilakukan dengan mendeskripsikan fakta-fakta yang ada dalam sebuah teks untuk kemudian dilakukan sebuah analisis. Pendeskripsian dilakukan untuk menemukan unsur-unsur fakta yang ada dalam sebuah teks, selanjutnya dianalisis (Kutha Ratna, 2012:53). Metode deskriptif analisis digunakan karena yang dikaji dalam teks sastra merupakan kejadian sosial masyarakat dan untuk mengaitkan hubungan antara individu ( si pelaku) dengan kondisi sosial masyarakatnya (Kutha Ratna, 2012: 59). Oleh sebab itu, analisis isi harus mampu melihati isi konteks sebuah karya sastra berdasarkan konteks (situasi sosial dimana sebuah karya sastra di produksi), proses ( bagaimana sebuah karya sastra di produksi) serta emergence, yaitu sebuah proses pembentukan secara gradual sebuah pesan melalui sebuah intepretasi (Burhan, 2004: 144-147)
Data dalam penelitian ini adalah teks narasi sepuluh cerita pendek yang terdapat dalam Kumpulan Cerpen Bertanya Kerbau pada Pedati karya A.A Navis. Sedangkan sumber datanya adalah kutipan kalimat, pernyataan, paragraf dalam buku kumpulan cerpen tersebut yang mengambarkan nilai kearifan lokal untuk penguatan pendidikan karakter. Teknik analisis data yang akan digunakan dalam penelitian ini menggunakan analisis mengalir (flow model of analysis), yang dikembangkan oleh Mattew dan Huberman, terdiri dari empat komponen sebagai berikut.
1.      Pengumpulan data, yaitu proses awal penelitian, dengan mengumpulkan data seakurat dan sedetail mungkin. Pengumpulan data dilakukan dengan membaca secara keseluruhan isi buku tersebut.
2.      Reduksi data dengan cara membuat ringkasan dari masing-masing cerita pendek
3.      Membuat analisis secara deskriptif sesuai pokok permasalahan pada tiap-tiap cerpen dengan pendekatan sosiologis
4.      Penarikan kesimpulan. Proses ini dilakukan bersifat terbuka dan skeptis, jadi kesimpulan masih bersifat sementara dan tidak menutup kemungkinan akan muncul kesimpulan berikutnya secara eksplisit dan berlandaskan kuat (Milles, 1992:18).
Pengecekan keabsahan data dilakukan secara konfrimabalitas (mengkonfirmasikan) data dan analisa sebelum ditarik sebagai kesimpulan dan temuan. Konfirmablitas dilakukan melalui proses triangulasi dengan cara memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau pembanding terhadap data (Moleong, 2009: 330) .

HASIL DAN PEMBAHASAN

A.      Hasil
Ringkasan Isi Kumpulan Cerpen
Kumpulan cerpen Bertanya Kerbau pada Pedati ini berisikan 10 cerpen, yaitu (i) Dokter dan Sang Maut, (ii) Sebelum Pertemuan Dimulai, (iii) Pemburu dan Srigala, (iv) Angkatan 00, (v) Kucing Gubernuran, (vi) Kuda itu Bernama Ratna, (vii) Bertanya Kerbau pada Pedati, (viii) Malin Kundang, Ibunya Durhaka, (ix) Pendekar dan Ayam Jago, dan (x) Kaus Kaki. Kesepuluh cerpen tersebut beberapa diantaranya memiliki kaitan kehidupan budaya masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat sebagai setting sosial  cerita. Cerita Dokter dan Sang Maut, menceritakan tentang percakapan seorang dokter dengan sang Maut atau Malaikat Maut, yang sedang melaksanakan tugasnya untuk mencabut nyawa dokter. Akan tetapi, dengan kepintarannya, dokter tersebut berupaya untuk menunda-nunda kematiannya dengan berbagai macam alasan dan argumentasi. Akan tetapi, Sang Maut dengan telaten melayani adu argumen dengan dokter sembari menunjukkan beberapa fakta sebaliknya, yang pada akhirnya tanpa disadarinya ternyata sang dokter bisa menyadari dan menerima kematian dirinya yang memang sudah pada waktunya. (hlm. 3-24)
Sedangkan cerpen sebelum pertemuan di mulai menceritakan tentang rapat para tokoh pemimpin besar dunia di alam barzakh yang dipimpin oleh Mahatma Gandhi, didampingi oleh sekretaris Chairil Anwar. Rapat ini diikuti oleh tokoh pemimpin besar dunia seperti Hitler, Stalin, Lenin, Mussolini, Weizman (pendiri Zionisme) Gandi. Selain itu juga ada seniman seperti Pablo Picasso dan Marlyin Monroe. Inti dari cerpen ini adalah perdebatan dan adu gagasan, perdebatan dan persaingan para tokoh tidak hanya terjadi di dunia tapi tetap terus berlanjut di alam barzakh (hal 27-44). Selanjutnya, cerpen pemburu dan srigala menceritakan kehidupan seorang pemburu yang senantiasa sombong dan menyombongkan diri pada orang lain, padahal dia tidak memiliki kekuatan apa-apa. Akhirnya sang pemburu ini harus mati dimakan serigala. (hlm. 47-56)
Cerita Angkatan 00 mengisahkan tentang generasi angkatan 00 yang merasa lebih baik dari generasi sebelumnya dan bisa memimpin negara tersebut. Cerita ini terinspirasi dari proses pergantian rezim orde lama ke orde baru yang melahirkan angkatan 66, dimana angkatan 66 merasa lebih mampu ketimbang angkatan lama. Sejarah terulanag kembali, angkatan 66 orde baru digantikan oleh angkatan 98 orde reformasi yang menganggap diriya lebih baik ketimbang angkatan 66. Begitu juga seterusnya. (hlm. 59-72)
Kucing Gubernuran sebuah cerita yang sarat simbol, dimana kucing sebagai pembasmi tikus (koruptor) pada akhinya harus tersingkir bahkan ikut menjadi korban kebijakan sang gubernur yang tidak tahu bagaimana cara berterima kasih kepada kucing. Kucing yang sudah berjasa ikut memberantas korupsi, pada akhir hayat gubernur menjadi tersingkir dan terkalahkan. (hlm. 75-82)
Pada cerpen Kuda itu bernama Ratna menceritakan tentang seorang Rajo Sutan, penggemar kuda dan sangat menjunjung tinggi martabat kuda. Kuda adalah sebuah lambang atau simbol tentang seorang hewan yang telah banyak memberikan jasa. Seekor Kuda diberi nama Ratna yang artinya batu pertama tak ternilai harganya. Seiring dengan perkembangan zaman dan kemajuan teknologi, peran kuda digantikan oleh teknologi. Kuda mulai dilupakan orang karena sudah ada penggantinya (hlm. 85-93). Untuk cerpen Bertanya Kerbau Pada Pedati mengisahkan tentang seekor kerbau yang terus menerus harus menerima dan melaksanakan beban berat setiap harinya menarik pedati. Akan tetapi karena dia hanya seekor hewan yang harus taat melayani majikannya, mau tidak mau dia harus patuh, hingga pada satu hari kerbau itu memberontak dengan melepaskan ikatan talinya dan berlari meninggalkan gerobak pedatinya. Setting sosial cerpen ini adalah penjajahan zaman jepang, sehingga memiliki korelasi dan setting sosial cerpen tersebut. (hlm. 97-107)
Cerpen Malin Kundan dan Ibunya Durhaka, mengisahkan sosok Malin Kundang, yang kalau dalam cerpen aslinya digambarkan sosok ibunya yang baik dan anaknya yang nakal dan durhaka. Tapi kalau dalam cerpen ini, yang bersalah dan durhaka justru ibunya Malin Kundang (hlm. 111-117). Pada cerpen pendekar dan ayam jago menceritakan tentang pendekar sungsang yang gemar melakukan adu ayam jago. Pendekar sungsang merasa dirinya hebat. Hobinya melakukan adu ayam jago tanpa merasa apakah ayamya kesakitaan atau tidak. Kondisi kemudian berbalik arah. Pendekar sungsan berubah menjadi ayam dan ayam jago tersebut menjadi manusia. Mereka tetap melakukan kebijakan yang salah dan melakukan balas dendam terhadap perlakuan sebelumnya (hlm. 121-128). Terakhir cerpen kaos kaki menceritakan tentang kaos kaki busuk yang dimiliki mahasiswa bernama karatang yang meski sudah dibuang akan tetap kembali ke orang tersebut. (hlm. 131-137)

B.  Pembahasan
1.    Nilai Karakter pada Kearifan Lokal
Kumpulan cerpen Bertanya Kerbau pada Pedati ini sarat dengan penanaman nilai-nilai karakter yang bersumber pada kearifan lokal masyarakat Minangkabau. Penulis AA Navis menggunakan lambang benda atau binatang sebagai sebuah metafora, meskipun yang dimaksud adalah manusia dan lingkungan sekitarnya. Selain itu juga, dialek bahasa yang digunakan, memakai istilah bahasa Minangkabau seperti arkian, bako, berjongkangan, digundar, dilapah, lapau, merumuk, nini mamak dan lainnya. Dari  10 kumpulan cerpen di dalamnya, ada dua cerpen yang sangat menonjol nilai kearifan lokal, yaitu cerpen Bertanya Kerbau pada Pedati dan Malin Kundang. Pada cerpen Bertanya Kerbau pada Pedati dengan setting sosial masa kolonial Jepang tahun 1940-an. Nilai kearifan lokalnya adalah kebudayaan masyarakat lokal tentang atap rumah gadang yang mirip dengan tanduk kerbau atau kabau dalam bahasa Minang. Asal mula tanduk kerbau atau kabau pada rumah gadang berasal dari kepercayaan masyarakat yang menganggap hewan kerbau sebagai hewan keramat. Ketika itu ada kepercayaan menanam kepala kerbau pada tiap atap bangunan agar bangunan selamat dari bencana. Atau kepala kerbau digantungkan di bagian rumah agar rumah itu selamat dari mara bahaya. Rumah gadang diberi tanda atap melengkung seperti tanduk kerbau. Sedangkan kaum perempuannya melipat selendang kebesarannya hingga berbentuk tanduk. Selendang tersebut selanjutnya diberi nama tengkuluk tanduk (AA. Navis, 2009:98).
Adapun nilai karakter yang terdapat dalam cerpen Bertanya Kerbau pada Pedati adalah nilai keberanian untuk melakukan perlawanan ketika dalam posisi tertindas. Karena cerpen ini dibuat dalam konteks penjajahan, maka kerbau yang diibaratkan sebagai rakyat Indonesia, jika sudah dihina dan disiksa secara fisik dan mental, maka mau tidak mau harus mendobrak, melakukan perlawanan. Oleh sebab itu, nilai karakter yang ditekankan dalam cerita ini adalah keberanian. Nilai karakter nasionalis dalam konteks penjajahan zaman jepang, seperti tergambar dalam cerita analogi lakonnya yaitu kerbau, tukang pedati, dan istri tukang pedati. Kerbau merupakan penggambaran rakyat yang ditindas. Pedati gambaran rakyat yang ditindas dan melakukan perlawanan, tukang pedati mewakili karakter penjajah, dan istri atau selir tukang pedati, menggambarkan orang pribumi perempuan Indonesia yang memihak kepada penjajah.  Nilai karakter nasionalis yang dianalogikan pada seekor kerbau dan pedati pada cerpen tersebut dengan melakukan pemberontakan dengan cara lari sekuat tenaga, melepaskan diri ikatan tali yang mengekangnya, karena tidak kuat menanggung beban penderitaan. Lari untuk mendapatka kebebasan dari kekangan, tindakan kekerasan, dan eksploitasi dari tukang pedati.
Sedangkan nilai kearifan lokal dalam cerita Malin Kundang Ibunya Durhaka menceritakan tentang sosok anak yang ketika sukses di rantau teringat kembali pulang ke kampung halamannya. Nilai kearifan lokal, yaitu budaya merantau sangat kuat di masyarakat Minangkabau. Anak laki laki yang sudah beranjak remaja harus merantau keluar dari kampung halamannya, untuk mencari ilmu, mencari pengalaman hidup. Dengan merantau, akan membuat seorang anak menjadi lebih tangguh, kuat dan kaya pengalaman. Budaya merantau terjadi pada masyarakat matrilineal dimana garis keturunan berasal dari ibu. Nilai kearifan lokal, yaitu budaya merantau diiringi dengan pesan nilai karakter, yaitu berbakti kepada orang tua. Bagaimanapun kondisi orang tua kita, harus kita akui bahwa itulah orang tua yang telah mendidik dan membesarkan kita. Meskipun dalam cerpen ini digambarkan ibunda Malin Kundang yang durhaka, akan tetapi pesan moralnya tetaplah seorang anak harus menghargai, menghormati dan menyayangi orang tuanya, apapun dan bagaimanapun kondisinya. Hendaknya kesuksesan kita selama di rantau, tidak membuat kita lupa diri terhadap asal usul masa lalu kita.
Cerpen Dokter dan Sang Maut lebih mengedepankan nilai karakter religiousitas, yaitu perlunya seseorang ingat akan kematian. Popularitas, kekayaan, kepintaran menjadi terputus dan tidak berguna lagi ketika ajal maut sudah menjemput. Pada cerpen ini, nilai karakter religiousitas sangat ditekankan yaitu agar seseorang siap menghadapi kematian kapanpun dan dimanapun. Oleh sebab itulah, perlu bekal sebaik-baiknya sebelum ajal maut menjemput. Dalam cerita ini, nilai kearifan lokal didalamnya sudah terdapat budaya masyarakat tentang kesehatan dengan menggunakan tenaga medis.
Untuk cerpen Sebelum Pertemuan Dimulai, nilai karakter perlunya saling menghormati dan menghargai berbagai pendapat orang dalam sebuah forum bersama. Kita boleh tidak setuju dan beda pendapat, tapi tetap harus bisa menghormati pendapat yang berbeda dan mampu mengendalikan diri. Untuk cerpen Pemburu dan Srigala menceritakan tentang seorang pemburu hewan yang kemudian harus mati oleh hewan buruannya. Pemburu  merasa dirinya sosok yang kuat dan perkasa, sehingga merasa tidak butuh bantuan orang lain. Sedangkan nilai karakter yang terkait adalah larangan untuk menyombongkan diri karena sejatinya tidak ada kekuatan paling tinggi. Setiap orang dilarang merasa hebat dan kuat, dia pasti menjadi lemah dan tidak berdaya dengan kekuatan yang dimilikinya ketika ada ancaman yang lebih besar. Disinilah, kita perlu belajar untuk lebih rendah hati dan lebih peduli kepada yang lain. nilai kearifan lokal saat itu munculnya tradisi berburu binatang rusa di masyarakat.
Sedangkan cerita Angkatan 00 menceritakan tentang proses transisi bangsa Indonesia dari era orde lama ke orde baru. Nilai karakter dalam cerpen ini bahwa tiap orang atau kelompok tidak ada yang sempurna, akan tetap mereka pernah berjasa pada masanya. Generasi berikutnya harus bisa mengambil pelajaran dari generasi sebelumnya. Jangan mengulang kesalahan dan kebodohan yang sama yang dilakukan generasi sebelumnya.
Sedangkan nilai karakter dalam cerpen Kucing Gubernur, menggambarkan nilai-nilai kesetiaan, loyalitas seorang hewan terhadap tuannya (sang gubernur). Pesan nilai karakter yang sangat kuat didalamnya, yaitu hendaklah kita harus pandai-pandai memilih teman. Jangan sekali-kali kita menyingkirkan kawan yang sudah berjasa kepada kita selama ini, dan sebaliknya malah merangkul musuh teman yang justru selama ini menjadi parasit atau musuh kita. Hewan tikus disimbolkan sebagai lawan koruptor, sedangkan kucing adalah aparat penegak hukum. Kucing akan selalu mencari dan memangsa tikus karena dialah si maling padi. Koruptor akan selalu jadi target aparat penegak hukum karena dialah pencuri uang negara.
Untuk cerita cerpen Kuda itu Bernama Ratna, menerangkan nilai karakter pentingnya menjaga sesuatu barang berharga dan pernah berjasa dalam hidup kita. Jangan pernah melupakan sejarah bahwa ada pihak pihak yang lain selama ini membantu kesuksesan kita. Jangan sampai terjadi habis manis sepah dibuang. Melupakan orang yang sudah dianggap tidak berguna, padahal orang itu pernah menjadi bagian penting dalam hidup kita. Dari cerpen ini, kita bisa mengetahui kearifan lokal masyarakat saat itu kebiasaan memelihara kuda sebagai hewan tunggangan, serta menjadi hewan yang menunjukkan kelas sosial pemiliknya.
Adapun dua cerita terakhir yaitu Pendekar dan Ayam Jago, serta kaus kaki , menekankan pentingnya nilai karakter kepada siswa untuk tidak sombong. Pendekar dan Ayam Jago mengisahkan seorang pendekar yang sombong, suka adu ayam jago. Ia tidak peduli meski ayamnya dalam keadaan sakit, tetap dipaksa bermain adu ayam jago. Suatu saat terjadi sumpah tukar posisi. Pendekar Sungsang jadi ayam jago ,dan ayam jago menjadi pendekar.  Pendekar sungsang  yang sudah menjadi ayam jago, di perlakukkan secara kasar dan sadis oleh ayam jago yang sudah berubah jadi pendekar. Pesan moralnya adalah kesombongan akan dibalas dengan kesombongna pula bahkan lebih parah. Selama kita berkuasa hendaknya tidak bersifat adigung adiguna, sok berkuasa untuk menindas mereka yang lemah. Ketika kekuasaan itu dipergilirkan seperti roda berputar, maka orang yang dulunya lemah dan kin berkuasa, mereka juga akan menindak tegas bersikap keras kepada kita yang dulu berbuat dzalim. Inilah lingkaran setan kekerasan sistemik.
Terakhir cerita kaos kaki memiliki nilai karakter tentang perlunya kita berbuat dan melakukan yang terbaik untuk orang lain. Apa yang kita tanam itulah yang akan kita panen. Semua perbuatan yang kita lakukan, maka balasannay akan kembali ke kita sendiri. Itulah hukum karma yang berlaku. Semua perbuatan baik dan buru pasti ada balasannya.

Nilai karakter pada Kearifan Lokal
Kumpulan Cerpen Bertanya Kerbau pada Pedati

Judul Cerpen
Nilai Kearifan Lokal
Nilai Karakter
Bahan Bacaan Tingkat MI/MTs/MA
Dokter dan Maut
Budaya kesadaran kesehatan medis masyarakat dan penghormatan terhadap profesi dokter
Religousitas, keimanan, keikhlasan
Cerita ini relevan untuk siswa MA dalam menumbuhkan nilai karakter religiositas
Sebelum Pertemuan Dimulai
Tidak ada karena ini kisah tentang perisitwa di dunia lain
Kebersamaan, keragaman, toleransi, saling menghargai. Juga karakter religiositas terkait peristiwa setelah kematian
Kisah ini sesuai untuk siswa MA yang diharapkan mampu mengidentifikasi nilai nilai religiositas
Pemburu dan Srigala
Tradisi berburu hewan
Dilarang Sombong, ikhlas , rendah hati, di atas langit masih ada langit, ada kekuatan dan kekuasaan di atas kita yang lebih tinggi
Kisah ini relevan untuk siswa MI dan MTs dalam membentuk karakter religiositas melalui cerita dengan metafora binatang
Angkatan 00
Situasi transisi negara dari orde lama ke orde baru
Setiap manusia ada masanya, harus berjiwa besar, siklus kehidupan terus berjalan, yang lama digantikan yang baru begitu juga seterusnya
Kisah ini lebih tepat untuk siswa MA yang sudah memiliki kemampuan berpikir mandiri dan analisis dalam melihat peristiwa sejarah, dan membentuk nilai karakter nasionalisme
Kucing Gubernuran
Tradisi memelihara hewan piaraan
Loyalitas, ketaatan, kepatuhan, kesetiaan, balas budi, integritas
Kisah ini bisa model penanaman karakter untuk siswa MA dalam penanaman karakter integritas (anti korupsi)
Kuda itu Bernama Ratna
Hewan kuda sebagai hewan piaraan untuk menggantikan akses transportasi publik, serta kuda sebagai identitas kelas sosial pemiliknya
Penilaian produk barang berharga dengan menjaga kualitas dan kuantitasnya, peduli terhadap mereka yang berjasa membantu kita
Kisah ini relevan dengan siswa MI dan MTs untuk penanaman karakter integritas, menggunakan metafora cerita binatang
Bertanya Kerbau pada Pedati
Lingkungan masyarakat pedesaan yang masih sederhana, gotong royong, dan lainnya
Humanisme kemanusiaan, cinta lingkungan termasuk terhadap mereka yang berbeda dengan kita
Kisah ini lebih tepat untuk siswa MI dan MTs dalam penanaman nilai karakter kerjasama, gotong royong
Malin Kundang, Ibunya Durhaka
Budaya merantau masyarakat Minangkabau
Cinta kasih sayang orang tua kepada anak, begitu juga sebaliknya, integritas dan religiousitas
Kisah ini utuk siswa MTs dan MA dalam penanaman karakter religiositas, siswa juga bisa mengidentifikasi dan membandingkan nilai yang ada dalam cerita dengan realitas sosial
Pendekar dan Ayam Jago
Kultur adu ayam jago di masyarakat
Jangan berlaku sombong, tidak ada yang kekal di dunia ini. Adakalaya posisi nasib manusia kadang diatas kadan dibawah. Kerjasama dan membangun hubungan baik dengan siapapun
Kisah cerita ini lebih tepat untuk siswa MI, MTs dalam membangun nilai karakter religiositas melalui perbandingan dua tokoh pendekar dan ayam jago
Kaus Kaki
Situasi transisi negara peraliha dari orde baru ke orde reformasi
Ketulusan, keikhlasan. Lakukan segala sesuatu dengan sebaik mungkin. Apa yang kita tanam, itu yang kita panen.
Kisah ini relevan untuk siswa MTs dan MI dalam penanaman nilai karakter nasionalisme
 



2.    Penguatan Karakter Siswa Melalui Kearifan Lokal
Nilai karakter utama yang terdapat dalam kumpulan cerpen Bertanya Kerbau pada Pedati adalah nasionalis, religousitas, integritas dengan sub nilai karakter rasa cinta tanah air, kerjasama, dan gotong royong. Nilai karakter nasionalisme sangat terlihat pada cerpen Angkatan 00, Bertanya Kerbau pada Pedati, dan Kaus Kaki. Angkatan 00 mengedepankan nilai-nilai nasionalisme siswa terkait sejarah perjalanan bangsa pada masa transisi dari orde lama ke orde baru. Cerpen Bertanya Kerbau pada Pedati mengandung semangat nasionalisme perlawanan kolonial pada masa penjajahan Jepang. Sedangkan cerpen Kaus Kaki, menekankan semangat nasionalisme pada saat Indonesia berada pada masa reformasi, transisi dari orde baru ke orde reformasi.
Penguatan nilai karakter nasionalisme kepada tiga cerpen tersebut bisa juga dikaitkan dengan mata pelajaran lain seperti PKn, IPS, Sejarah dan Bahasa Indonesia.  Hal ini karena konteks sosial dalam cerita tersebut serta nilai-nilai karakter nasionalisme memiliki relevansi dengan beberapa mata pelajaran tersebut. Nilai karakter nasionalis dalam konteks penjajahan zaman Jepang seperti tergambar dalam cerita analogi lakonnya yaitu kerbau, pedati, tukang pedati, dan istri tukang pedati. Kerbau merupakan penggambaran rakyat yang ditindas. Pedati gambaran rakyat yang ditindas dan melakukan perlawanan, tukang pedati mewakili karakter penjajah, dan istri atau selir tukang pedati, menggambarkan orang pribumi perempuan Indonesia yang memihak kepada penjajah.  Nilai karakter nasionalis yang dianalogikan pada seekor kerbau dan pedati pada cerpen tersebut dengan melakukan pemberontakan dengan cara lari sekuat tenaga, melepaskan diri ikatan tali yang mengekangnya, karena tidak kuat menanggung beban penderitaan. Lari untuk mendapatka kebebasan dari kekangan, tindakan kekerasan, dan eksploitasi dari tukang pedati.
Sedangkan nilai karakter nasionalisme pada cerpen Angkatan 00 dan Kaus Kaki mengedepakan tentang proses transisi dan tranformasi dari orde lama ke orde baru. Siswa diharapkan dapat gambaran, pengetahuan dan pemahaman tentang semangat nasionalisme dari ketiga cerpen di atas. Sedangkan nilai karakter dalam cerpen Kaus Kaki, menggambarkan konteks sosial demonstrasi besar besaran dalam era reformai mengiringi perjalanan bangsa dari orde aru menuju era demokratis.
Karakter religiousitas dan integritas pada cerpen Sebelum Pertemuan di Mulai, Dokter dan Sangt Maut, serta Malin Kundang perlu ditanamkan kepada siswa sehingga siswa memiliki kesadaran transendetal, mampu melaksanakan ajaran agamanya masing masing, kesadaran akan pentingnya hari kematian, bersikap toleran dan mengharga perbedaan terhadap sesama. Untuk cerpen Pendekar dan Srigala, Kucing Gubernuran, Kuda itu bernama Ratna, Pendekar dan ayam jago sangat mendorong dan mengedepankan karakter integritas, kerjasama dan gotong royong. Penguatan kelima nilai karakter melalui pengajaran sastra akan menunjang meningkatan mutu dan kualitas siswa, tidak hanya dalam kegiatan proses belajar tapi juga bisa dilakukan melalui pembinana kegiatan ekstrakurikuler dan pembinaan kesiswaan.

3.    Apresiasi Pengajaran Sastra dalam Penguatan Karakter Siswa
Apresiasi  pengajaran sastra  pada kumpulan cerpen  Bertanya  Kerbau pada Pedati karya  A.A.Navis  mengacu kepada enam tahapan pendekatan seperti dalam teori Moody, maka yang harus dilakukan oleh guru sebelum mengajarkan sastra buku ini, dalam tahapan awal (pelacakan) seorang guru harus membaca beberapa pengetahuan terkait isi cerpen tersebut berupa buku tentang budaya masyarakat Minangkabau dan sejarah Sumatera Barat, buku sejarah masa penjajahan Jepang, sejarah kondisi politik orde lama dan orde baru, hukum, sosial budaya dan sejarah reformasi, buku para tokoh pemimpin dunia serta buku-buku terkait keagamaan. Guru juga harus mengetahui tentang profil pengajarang A.A Navis dan karya-karya terdahulu. Hal ini sangat penting karena  guru akan mengetahui gaya bercerita pengarang serta pesan-pesan moral yang secara umum ada pada karyanya. Alasan lainnya, kumpulan sepuluh cerpen  karya AA. Navis sebagian menceritakan kondisi masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat, seperti cerpen Bertanya Kerbau pada Pedati dan Malin Kundang Ibunya Durhaka. Cerpen Angkatan 00, Kaos Kaki, Sebelum Pertemuan Dimulai  terkait tema-tema sejarah dan pemikiran para tokoh dunia.   Cerpen Dokter dan Sang Maut untuk tema-tema keagamaan (religiositas), Kucing Gubernuran tentang masalah hukum dan korupsi, serta Pemburu dan Srigala, Pendekar dan Ayam Jago terkait masalah-masalah sosial budaya yang  sering kita hadapi dalam keseharian.
Ketika guru sudah memiliki pengetahuan (stock of knowledge) yang mendukung penguasaan isi cerita kumpulan cerpen, maka akan memudahkan bagi guru untuk merumuskan strategi penyampaian  (tahap kedua penentukan sikap praktis) dan memberikan informasi awal kepada siswa tentang sekilas isi cerpen serta pengetahuan yang berkaitan dengan isi cerpen tersebut (tahap ketiga  introduksi atau pengantar). Pada saat  tahapan empat, yaitu penyajian, guru bisa membagi  murid menjadi 10 kelompok  sesuai jumlah cerpen. Selanjutnya guru meminta masing-masing kelompok untuk membaca isi cerpen sesuai jumlah yang ada, dan meminta mereka membahas apa yag menjadi temuan pokok cerpen tersebut dari segi isi cerpen itu, konteks sosial yang menjadi latar isi cerpen itu, pesan nilai kearifan lokal yang bisa digali dari cerpen, nilai karakter yang bisa diambil dan diterapkan oleh siswa, serta bagaimana perasaan siswa setelah membaca cerpen.
Pada tahapan diskusi, guru meminta masing masing kelompok untuk mempresentasikan hasil  diskusi kelompok sesuai  temuan pokok bahasan di atas. Guru meminta kelompok lain untuk menanggapi, menyanggah, menambahkan, menyempurnakna hasil diskusi kelompok temannya. Presentasi dilakukan secara bergiliran sampai kesepuluh kelompok siswa selesai mempresentasikan hasil diskusinya. Terakhir, pada tahap pengukuhan, guru memberikan sebuah kesimpulan umum  yang lebih menyeluruh terhadap sepuluh cerpen tersebut, dan mengaitkannya dengan nilai karakter dan kearifan lokal yang terdapat dalam sepuluh cerpen.  Untuk semakin mengukuhkan hasil apresiasi sastra tiap siswa terhadap  cerpen yang sudah dibacanya, guru meminta beberapa siswa tampil ke depan menyampaikan testimoni tentang perasaan setelah membaca cerpen tersebut, dan pengaruhnya bagi diri siswa. Guru juga bisa memberikan PR bagi siswa untuk membuat essay tulisan yang berisikan tentang kritik sastra yaitu tanggapan , komentar, saran dari siswa terhadap cerpen yang dibacanya.




Simpulan dan Saran

Simpulan
1.      Nilai karakter yang terdapat dalam kumpulan cerpen Bertanya Kerbau pada Pedati adalah nilai nasionalisme, integritas, kerrjasama, dan gotong royong. Nilai karakter ini terdapat pada inti pada kesepuluh cerpen yang menggambarkan realitas kondisi masyarakat Indonesia dengan beragam karakternya.
2.      Bentuk penguatan nilai karakter siswa melalui kearifan lokal yang terdapat dalam cerpen Bertanya Kerbau Pada Pedati yaitu nilai karakter nasioanslime, religiousitas bisa diintegrasikan dengan mata pelajaran PPkn dan Pendidikan Agama, serta melalui kegiatan ekstrakurikuler, co kurikuler dan pembinaan kesiswaan
3.      Apresiasi pengajaran sastra oleh siswa terhadap kumpulan cerpen Bertanya Kerbau pada Pedati bisa dilakukan dengan mengacu kepada teori Moody melalui enam tahapan apresiasi sastra, akan membawa pengaruh postif bagi siswa untuk bisa memahami kekayaan budaya masyarakata Indonesia yang berasal dari Minangkabau, Sumatera Barat. Nilai kearifan lokal pada masyarakat yang terdapat pada cerpen tersebut bisa memperkuat karakter siswa pada nilai karakter nasionalisme, religiositas, integritas, kerjasama dan gotong royong.


Saran
Hasil penelitian ini diharapkan bisa melengkapi beberapa kajian apresiasi sastra lainnya dalam rangka penguatan nilai karakter berbasiskan kearifan lokal kepada siswa. Para siswa yang membaca sastra mampu memahami, memaknai dan menghayati pesan pesan karakter dalam kumpulan cerpen tersebut untuk diterapkan dalam kehidupan sehari hari.


DAFTAR PUSTAKA

Asuncion-Lande, N.C. 1990. “Intercultural Communication”. In G. L. Dahnke sand G.W. Clatterbuck (eds). “Human Communication theory: Theory and Research”. Wadsworth,  Belmont, California
Buku Pedoman Penguatan Pendidikan Karakter, diterbitkan Kemendikbud. 2016
Bungin, Burhan, 2004. Analisis Penelitian Data Kualitatif. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Hariadi. 2011. Peran Sastra dalam Pembentukan Karakter Bangsa. Yogyakarta: Jurnal.
Levitt, Kathryn M.Anderson. 2003. “Local Menaing, Global  Schooling”. New york: Palgrave MacMillan.
Lexy J. Moleong.  2009. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Mangunwijaya, YB. 1992. Sastra dan Religousitas. Yogyakarta: Kanisius.
Miles, Matthew B. dan A. Michael Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber Tentang Metode-metode Baru. Jakarta: UI Press.
Moody, H. 1971. The Teacher of Literature. London: Longman.
Navis, A.A. 2009. Kumpulan Cerpen Bertanya Kerbau pada Pedati. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 
Nugiantoro, Burhan. 2012. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta:Gajahmada University Press.
Oemarjati, Boen S. 1992. Dengan Sastra Mencerdaskan Siswa: Memperkaya Pengalaman dan Pengetahuan. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Ratna, Nyoman Kutha. 2012. Penelitian Sastra: Teori Metode dan Teknik. Yogyakarta Pustaka Pelajar
Reading, Hugo F. 1986. Kamus Ilmu Sosial. Jakarta: Rajawali.
Rusyana, Yus. 1984. Metode Pangajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius. 
Sardjonoprijo, Petrus 1982. Psikologi Kepribadian: Jakarta: Rajawali.
Sumarjo, Jakob. 1988. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: PT Gramedia.
Suryo, Muhammad, 2005.  Pendidikan Hoslitik Berbasis Nilai dan Etika dalam Pembentukan Citra Manusia.  Makalah disampaikan dalam Rembug nasional pembentukan citra manusia Indonesia tanggal 13 September 2005. Depari, Jawa Tengah.
UU No. 20 tahun 2001 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar